• LAINYA

Melanjutkan Bagian Pertama, validitas keberasalan (hujjiyyat al-shudur) al-Quran terdiri dari beberapa asas berikut ini:

Pertama, sebelum segala sesuatunya, seorang mujtahid menerima sepenuhnya bahwa al-Quran diturunkan seutuhnya dari Allah swt. Artinya, kalau al-Quran ini tidak berasal dari Allah swt., kitab suci ini tidak memiliki nilai prioritas yang membuat mujtahid harus merujuk kepadanya untuk memperoleh hukum dan keputusan agama. Asas bahwa al-Quran berasal dari Allah mengandung keyakinan awal berikut:

  1. Kandungan al-Quran bersumber dari Allah swt.
  2. Teks (kata dan kalimat literal) yang membentuk redaksi ayat-ayat al-Quran juga bersumber dari Allah swt. Artinya, teks ayat-ayat ini adalah wahyu Allah swt.
  3. Pola penyusunan al-Quran yang menertibkan letak ayat-ayat kemudian membentuk surah-surah serta urutan-urutan mereka hingga membentuk kitab al-Quran juga berasal dari wahyu.

Akan halnya seorang mujtahid, dalam istinbath dan ijtihad (upaya menyimpulkan hukum dari ayat-ayat al-Quran), sepenuhnya menerima asas bahwa Allah swt. menghendaki makna-makna khusus dalam semua ayat al-Quran, karena istinbath dan ijtihad yaitu usaha semaksimal mungkin menggali makna-makna dari dalam ‘perut’ ayat-ayat al-Quran, dan Allah swt. adalah dalam rangka tataran menyatakan makna-makna yang Dia maksudkan melalui kalam, kata-kata, lafadz-lafadz dan redaksi ayat-ayat tersebut.

Kedua, mujtahid percaya bahwa al-Quran ini adalah al-Quran yang terkumpul di awal kemunculan Islam, dan seluruh ayatnya yang terhimpun menjadi al-Quran adalah wahyu Allah swt. Maka, tidak ada penambahan juga tidak ada pengurangan pada al-Quran yang ada ini. Asas ini sesungguhnya dapat ditelaah secara ekstentif pada topik distorsi (tahrif) dan pada masalah kemutawatiran (tawātur) al-Quran.

Ketiga, mujtahid percaya bahwa wahyu terjaga murni dan terpelihara tetap utuh dari kekeliruan. Yakni, ilmu Allah swt. itu turun dalam bentuk wahyu dan diterima oleh Nabi Muhammad saw. tanpa perubahan dan pergantian apa pun. Maka, sepanjang proses penurunan wahyu (makna dan teksnya) dari ilmu Allah swt. kepada Nabi saw. Sama sekali tidak terjadi kesalahan.

Baca Juga :  Filsafat Maulid Nabi: Merayakan Kemanusiaan atau Kebinatangan Diri Sendiri

Keempat, mujtahid percaya bahwa Nabi saw. terjaga dan terpelihara tetap maksum dari segala jenis kesalahan, disengaja ataupun tidak. Artinya, di samping tidak terjadi kesalahan pada wahyu itu sendiri dan proses penurunannya, Nabi saw. juga tidak melakukan kesalahan, baik dalam menerima al-Quran ataupun menyampaikannya.

Adapun asas-asas validitas makna al-Quran yang mendasari ijtihad dan penyimpulan hukum mujtahid dari al-Quran dapat dirangkum sebagai berikut:

Pertama, mujtahid merujuk al-Quran atas asas bahwa Allah memaksudkan makna-makna tertentu yang dikandungkan ke dalam teks-teks literal al-Quran. Asas ini, kendati secara lahir sudah sangat jelas, justru berpotensi menjadi ajang perdebatan sengit di antara aliran pemikiran di Barat.

Sebagian sarjana beraliran hermeneutika, dalam masalah ini, cenderung berpikir relativis. Tatkala melihat seorang pelukis melukis sesuatu di atas kanvas, boleh jadi Anda mengatakan ia tengah mengungkapkan kesedihannya. Sementara orang lain mungkin menyimpulkan ia sedang menyatakan kegembiraannya. Orang ketiga barangkali mempersepsi, dari lukisan yang sama, pelukis itu sedang mengekspresikan kemarahannnya. Pertanyaannya, mana dari ketiga pandangan ini yang benar? Tentu, semua pandangan mereka benar; kesimpulan dan pemahaman siapa saja yang ia peroleh dari melihat lukisan pelukis itu sama-sama benar.

Pemikiran semacam ini sejatinya tidak berarti bahwa lukisan pelukis itu tidak mengandung pesan khusus sehingga pemahaman orang lain perlu diukur kesesuaiannya dengan pesan tersebut. Pelukis yang menggoreskan lukisan di atas kanvas tadi tidak memiliki makna final sehingga siapa saja dapat dengan benar mengekspresikan setiap makna yang terlintas dalam benaknya yang sesuai dengan pengalaman tradisi dan kebudayaan khasnya.

Atas dasar ini, setiap penafsiran atas teks-teks agama berada dalam kerangka tradisi dan budaya tertentu penafsir dan, karena itu, pemahaman agama senantiasa bersifat situasional dan bergantung pada pikiran setiap penafsir. Adakalanya di antara para pemikir Muslim terdengar keras bahwa ayat-ayat Al-Quran tidak mengandung makna-makna khusus dan definitif sehingga harus dijelajahi dan disingkap, melainkan maknanya luas dan terbuka bagi setiap pemahaman sedemikian lebar sehingga hasil pemahaman siapa pun dari suatu ayat adalah benar dan tidak dapat dinilai salah.

Baca Juga :  Mengenal Tafsir Sufistik-Filosofis Surat Al-Fatihah, Karya Mulla Sadra (2): Isti’adzah, Analisis Aklani (1)

Akan halnya seorang mujtahid, dalam istinbath dan ijtihad (upaya menyimpulkan hukum dari ayat-ayat al-Quran), sepenuhnya menerima asas bahwa Allah swt. menghendaki makna-makna khusus dalam semua ayat al-Quran, karena istinbath dan ijtihad yaitu usaha semaksimal mungkin menggali makna-makna dari dalam ‘perut’ ayat-ayat al-Quran, dan Allah swt. adalah dalam rangka menyatakan makna-makna yang Dia maksudkan melalui kalam, kata-kata, lafadz-lafadz dan redaksi ayat-ayat tersebut. Di sini perlu kiranya diingat ihwal benar dan keliru dalam memahami al-Quran. Di kalangan mujtahid diakui bahwa “Mujtahid yang benar mendapatkan dua pahala dan mujtahid yang keliru mendapatkan satu pahala.”

Kedua, dalam menjelaskan maksud Allah swt., setidaknya dalam hukum-hukum partikular yang berhubungan dengan tindakan seseorang, al-Quran tidak menggunakan bahasa metaforis dan simbolis, tetapi menggunakan pola bahasa umum yang dilakukan lazim oleh orang-orang berakal sehat. Artinya, Allah swt., dalam menjelaskan maksud-maksud-Nya, memilih cara orang berakal sehat.

Kaitannya dengan validitas makna zahir (hujjiyat al-zhawahir), dalam ilmu Ushul Fiqih disebutkan sebuah kaidah bahwa bentuk-bentuk literal teks adalah hujjah. Maksudnya, orang berakal sehat akan menisbatkan makna yang ia tangkap atau yang tersirat dalam benaknya dari ucapan seseorang kepada orang tersebut sebagai pembicara.

Namun masalah ini apa hubungannya dengan Allah sebagai sumber dan peletak hukum agama? Bagaimana kaidah Ushul Fiqih tadi dapat diterapkan pada penjelasan Sumber hukum dan atas dasar apa makna-makna dzahir dari penjelasan literal-Nya dapat dinisbatkan kepada-Nya?

Tentu ada hubungan, yaitu manakala kita menerima bahwa Allah swt. berfirman dalam al-Quran, Rasulullah saw. bersabda serta para imam maksum a.s. berkata dengan metode yang sama digunakan oleh orang-orang berakal sehat dalam memaknai dan memahami perkataan dan percakapan. Secara umum, berlakunya hukum dialog publik (urf) dalam memahami firman (ayat) dan sabda (hadis) berdasarkan pada penerimaan asas ini, yaitu Sumber hukum berkata-kata dengan metode orang-orang berakal. Selanjutnya asas ketiga. Bersambung ⇒

Share Page

Close