• LAINYA

Andi Mahdi – Dalam pepatah Konfusius, “Semua memiliki keindahan, namun tidak semua orang melihatnya”. Diri kita, manusia, sudah begitu kompleks dan kaya akan rahasia keindahan. Maka, menurut pepatah, manusia semakin sulit dilihat. Barangkali salah satu kendala atau, lebih tepatnya, tantangan menjangkau keindahan diri lantaran realitasnya yang multidimensional. Kiranya dan uniknya, serumit dan sekompleks apa pun, keindahan sudah cukup nyata dan, boleh jadi, musthail dideskripsikan secara benar-benar logis. Ia badihiy, swanyata. Yang lebih unik justru pepatah itu mengingatkan tidak semua orang melihatnya. Lantas, bagaimana menjangkau keindahan?

Keindahan memiiki fase beragam dan dimensi hirarkis. Setiap fase terkait dengan penerimanya. Keindahan material terhubung dengan indra sebagai penerimanya. Gunung menjulang, lautan biru, terumbu karang yang beraneka-ragam hanyalah segelintir contoh dari sekian keindahan meterial yang ditangkap indra; keindahan dalam fase indrawi dan dimensi material.

Selain dua dimensi indrawi dan rasional, ada fase hati dan dimensi irfani yang menyimpan kekayaan keindahan yang unik dan kompleks. Kriteria keindahan dimensi ini berbeda dengan kriteria indrawi dan rasional.

Tentunya, keindahan fase indrawi dan dimensi material berbeda dengan keindahan rasional; satu fase hirarkis yang melampau fase indrawi. Keindahan ini dijangkau dan ditangkap tidak dengan fakultas-fakultas indrawi. Keindahan tatanan eksistensi dan hirarkinya, sistem kausalitas yang apik dan rapi, hubungan emanasi dan kausalitas merupakan deretan contoh dari sekian keindahan rasional filosofis. Keindahan-keindahan tersebut terkait dengan keindahan fase rasional dan dimensi filosofis. Oleh karena itu, kriteria fase indrawi tidak dapat digunakan untuk mengukur keindahan-keindahan fase rasional.

Ada fase selain dua fase di atas, yaitu fase hati dan dimensi irfani yang menyimpan kekayaan keindahan yang unik dan kompleks. Tajalli eksistensi Kausa Prima dalam seluruh emanasi-Nya yang meliputi jagad-wujud, tajalli cinta-Nya dalam meng-ada-kan seluruh wujud, ketergantungan serta keterikatan “percikan-percikan” eksistensi-Nya merupakan secuil contoh dari keindahan fase hati dan dimensi irfani. Tentunya, kriteria keindahan pada fase dan dimensi ini berbeda dengan kriteria yang terdapat pada dua fase di atas, walaupun dalam pendedahan dan penguraiannya sering kali meminjam istilah-istilah fase rasional dan dimensi filosofis.

Baca Juga :  Al-Quran, Filsafat Ijtihad dan Pemahaman Kontekstual (Bagian Terakhir)

Sebagai catatan penting, seringkali orang yang berada di satu fase dan dimensi tertentu menegasikan eksistensi dan kriteria keindahan di fase dan dimensi lainnya. Sikap ini muncul lantaran pandangan dunia dan epistemologi yang mempengaruhi secara kuat tinjauannya terhadap keindahan. Sebagai contoh kasus, orang yang berada di fase indrawi dan dimensi material kerap terjebak oleh penegasian fase rasional dan dimensi filosofis. Padahal, kriteria yang digunakan di fase indrawi dan dimensi material sangat berbeda dengan kriteria di fase rasional dan dimensi filosofis. Hal serupa juga berlaku pada fase dan dimensi lainnya.

Oleh karena itu, sejatinya manusia paripurna adalah yang dapat menempatkan setiap kriteria dan ukuran yang berbeda pada setiap fase dan dimensinya.

Fitrah

Alquran diturunkan untuk mewartakan subjek-subjek beragam yang faktual dari pengetahuan-pengetahuan ilahiah kepada manusia. Tujuan diturunkannya Alquran adalah mendidik dan mengenalkan manusia atas realitas-realitas ilahiah tersebut. Dengan mengandalkan penalaran atas berita-berita ilahiah tersebut, manusia dapat mengetahui kebahagiaan hakiki dan mampu membedakan dengan kebahagiaan semu non-hakiki.

Dari sisi lain, penggunaan nalar semata tidak menjadikan manusia bisa memperoleh kebahagian hakiki tersebut. Oleh karena itu, diperlukan sesuatu yang dapat mendorong dan “merayu” manusia agar dapat bergerak menuju kebahagiaan tersebut.

Dalam penciptaannya, Allah swt. menciptakan manusia dengan satu bentuk ciptaan, dimana Dia “belum” pernah menciptakan makhluk apa pun dengan bentuk tersebut. Bentuk ciptaan yang sesuai dengan realitas-realitas ilahiah tertuang dalam wahyu-Nya. Fitrah merupakan bentuk ciptaan Allah dimana Dia meng-ada-kan manusia dalam bentuk tersebut.

Mengungkap misteri fitrah memaksa kita untuk mengenalinya lebih jauh, baik melalui jalur teks atau pun penalaran yang dalam. Sebagai catatan penting, rujukan primer dalam penyingkapan misteri fitrah adalah teks suci ilahiah. Walaupun demikian, upaya ini tidak mengabaikan pada sumber sekunder, yaitu dedahan dan argumentasi rasional.

Fitrah dalam Tinjauan Kebahasaan

Fitrah adalah kata serapan murni dari bahasa Arab Alquran. Ia berasal dari fathara yang berarti mencipta atau mewujudkan. Secara morfologis, kata fitrah mengikuti pola fi‘lah yang memberikan gambaran pemaknaan ke-bagaimana-an ataupun bentuk. Jadi, secara etimologis, kata fitrah dalam makna sepenuhnya ialah bentuk penciptaan atau pun bentuk pengadaan.

Baca Juga :  Mengenal Tafsir Sufistik-Filosofis Surat Al-Fatihah, Karya Mulla Sadra (2): Isti’adzah, Analisis Aklani (1)

Dari sisi lain, dalam filsafat dinyatakan bahwa “ada” dan “mengadakan” adalah satu hakikat, namun berbeda tinjauan penisbatannya. Jika dinisbatkan ke pemberi keberadaan, ia disebut dengan “meng-ada-kan” atau “peng-ada-an”. Akan halnya bila dinisbatkan ke penerima keberadaan, ia disebut “ada”. Dengan kata lain, ketika Tuhan mengadakan sesuatu, menjadilah sesuatu tersebut “ada”. Keberadaannya terkait erat seutuhnya dengan perbuatan peng-ada-an-Nya, yaitu keterikatan kausalitas ontologis. Dai sini dapat ditarik kesimpulan bahwa tindakan Tuhan mewujudkan fitrah adalah sama dengan hakikat keberadaan manusia. Dengan artian, hakikat keberadaan manusia sama dan sesuai dengan fitrah, sifat-sifat konsekuentif ontologis dan kesempurnaan manusia (Rasyahāt al-Bihār, hlm. 315).

Dengan demikian, sampailah pada satu kesimpulan, agar manusia sampai pada tujuan tertingginya, yaitu kesempuranaan keberadaan dirinya, seyogjanya dia berupaya dalam seluruh tindakannya, baik teoretis –tindakan nalar- ataupun praktis, sesuai fitrah dan struktur inherennya. (Syarh Rasyahāt al-Bihār, hal 225)

Berdasarkan landasan kesimpulan di atas, atuaran-aturan ilahiah, baik terkait dengan permasalahan teoretis dan praktis yang tertuang dalam teks-teks suci, sejalan dengan penciptaan fitrah. Dan jika membaca teks-teks suci dengan teliti, kita akan menemukan kesesuaian tersebut. Sebagai contoh, tauhid yang berarti mengesakan dan mensucikan-Nya, bahkan lebih jauh lagi, tauhid sebagai poros terpenting dalam ajaran ilahiah, memberikan dampak serius dalam kehidupannya, baik secara individual atau pun sosial. Tauhid merupakan bentuk tindakan, baik secara teoretis ataupun praktis, pengakuan atas keesaan dan kesucian-Nya. Dengan berpijak pada beberapa argumentasi rasional nalar, manusia bisa mengakui ketunggalan-Nya dalam mengatur dan menjaga sistem jagad wujud. Pengakuan tersebut tidak lain merupakan pengakuan fitri, yang meminjam aktivitas nalar, atas fakta keindahan dari keterjagaan dan keteraturan sistem jagad wujud.

Fitrah dalam Analisis Nalar dan Wahyu

Secara formal, pola-pola penalaran secara tradisional didisiplinkan dalam logika. Ada sejumlah perangkat terminologis di dalamnya. Di antaranya, isltilah dzātiy. Menjelaskan makna dzātiy merupakan hal yang cukup rumit; penggunaan kata istilah ini memiliki makna beragam berdasarkan konteks. Namun, yang menjadi poros utama dalam makalah singkat ini adalah dzātiy sejauh yang dikenal, sekali lagi, dalam logika formal.

Baca Juga :  Filsafat Iman: Berawal dari Islam juga Berakhir di Islam

Dalam logika formal, kata dzātiy digunakan dalam dua terminologi yang berbeda, namun memiliki kedekatan yang cukup rapat. Dzātiy dalam topik Isagoge, lima universalia, merupakan bahasan gagasan dan pendefinisian. Ada pun dzātiy lainnya digunakan dalam topik Demonstrasi (al-burhān). Seringkali, dengan tidak mengindahkan kedua terminologi tersebut, kita terjebak oleh pemaknaan keliru dalam penggunaaan kata dzātiy.

Terma dzātiy dalam topik Isagoge yaitu sesuatu yang tidak keluar dari dalam sesuatu, baik secara keseluruhan seperti spesies, ataupun sebagain seperti genus, ataupun sebagaian dari sesuatu yang khusus seperti deferensia. Sebagai contoh, pendefinisan manusia dengan hewan bernalar, dimana terdiri dari genus dan deferensi yang kemudian menghasilkan spesies, merupakan hal-hal yang bersifat dzātiy atau inheren bagi manusia.

Jika, kita mengamati dan mengurai definisi manusia, “hewan bernalar”, kita akan memperoleh beberapa gagasan universal yang tidak dapat dipisahkan dari manusia dalam batasannya sebagai spesies. Bagian pertama dari muatan definisi manusia “hewan” berstatus sebagai genus yang merupakan gagasan universal besar yang mencakup beberapa gagasan universal “kecil” yang disebut dengan spesies. “Hewan” sebagai genus didefinisikan dengan “jasad yang berkembang, berperasaan dan bergerak dengan keinginan” mencakup beberapa spesies seperti: kambing, kerbau, sapi dan lain-lainnya.

Bagian kedua dari muatan definisi manusia “bernalar” merupakan gagasan universal yang disebut dengan deferentia. Deferensi adalah satu gagasan universal yang menjadi pemilah antara spesies dan menjadi keidentitasan satu spesies.

Adapaun dalam topik Demonstrasi, terma dzātiy adalah suatu gagasan yang diambil atau dipahami dari diri sesuatu, seperti gagasan “kemungkinan” yang dipahami dan diambil dari “eksistensi mungkin”, gagasan “melekat” yang dipahami dari “eksistensi warna”. Selanjutnya, terma dzātiy dalam tulisan ini dipadankan dengan ‘inheren’.

Setelah cukup sepintas menelaah dengan istilah logika formal, kini tiba giliran menerapkan istilah-istilah di atas pada pokok bahasan, fitrah, dalam Alquran. Fitrah disinggung dalam satu ayat dengan singkat, padat dan gamblang. Namun, penguraiannya tentunya tidak sesingkat ayat tersebut. Bersambung⇒

Share Page

Close