• LAINYA

TAFSIR-QURAN.COM–Pembahasan tentang wahyu sangat penting karena merupakan pemahaman dasar untuk mengenal kalam Ilahi. Alquran sebagai kalam Ilahi bisa diterima apabila masalah wahyu sudah jelas. Alquran adalah firman Allah SWT. Buku suci ini mengandung pesan samawi yang diperantarai oleh wahyu. Wahyu adalah ilham gaib yang datang dari alam tinggi (Malakut al-A’la) yang turun ke alam materi.

Baca juga: Unduh Satu-Satunya Tafsir Lengkap Dari Mufasir Sufi Perempuan Asal Isfahan
Baca juga: Tafsir Sekularisme (1): Ayat-Ayat Sekuler (1), Tugas Nabi Hanya Penyampai Wahyu Dan Urusan Akhirat

Allah SWT berfirman, “Dan sesungguhnya Alquran ini Aenar-benar diturunkan oleh Tuhan seluruh alam yang dibawa turun oleh ar-Ruh al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad saw) agar engkau termasuk orang yang memberi peringatan dengan bahasa Arab yang jelas” (QS. Al-Syu’ara’ [26]: 192-195).

“Itulah sebagian hikmah yang diwahyukan Tuhan kepadamu” (QS. Al-Isra’  [17]: 39).

“Dan Alquran ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai (Alquran kepadanya)” (QS. Al-An’am [6]: 19).

Karenanya, masalah paling mendasar dalam keyakinan qurani adalah pembahasan tentang wahyu; tentang mengenal wahyu, cara terjalinnya hubungan antara Yang Mahatinggi dengan materi yang rendah, apakah mungkin terjalin hubungan antara alam fisik dengan metafisik? Apakah keterjalinan hubungan tersebut tidak terkait dengan masalah sinkhiyyat (kesamaan)? Jawaban dari semua pertanyaan tersebut akan membuka jalan untuk mendapat keyakinan qurani.

Baca juga: Tafsir Sekularisme (1): Ayat-Ayat Yang Diklaim Mendukung Sekularisme
Baca juga: Tafsir Jihad Dan Perang (1): Surah Perang (Al-Qitāl)
Baca juga: QS. Qaf [50]: Ayat 18; Diam Atau Berkata Baik

Wahyu secara Leksikologis
Secara kebahasaan, wahyu memiliki banyak arti yang berbeda-beda, di antaranya: isyarat, tulisan, risalah, pesan, perkataan yang terselubung, pemberitahuan secara rahasia, bergegas, setiap perkataan atau tulisan atau pesan atau isyarat yang disampaikan kepada orang lain.

Menurut Raghib Ishfahani, wahyu adalah isyarat yang cepat (Al-Mufradat fi Ghara’ib Al-Qur’an, hlm. 515). Menurut Abu Ishaq, wahyu dalam pengertian semua bahasa adalah pemberitahuan secara rahasia, karena itulah ilham disebut dengan wahyu. Menurut Ibnu Barri, wahyu adalah pembicaraan yang dirahasiakan. Seseorang bersyair:

Wahyu telah disampaikan kepada kami
Sampai ujung jari-jemarinya meniscayakan membawa pesannya.

Penyair lain berpuisi:

Kupandang dia maka kebingungan melanda
jeli pikiranku ketika bayangkan keindahannya.
Sorot mataku mewahyukan pesan aku cinta kepadanya
lalu di kedua pipinya tampak tanda-tanda pesan itu.

(Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab, jld. 15, hlm. 380).

Wahyu dalam Pengertian Alquran
Alquran menggunakan kata wahyu dalam banyak ayat. Setidaknya ada empat arti dari kata wahyu yang digunakan Alquran:

Baca juga: QS. Al-Dhaha [93]: Ayat 7; Nabi Sesat (1): Antara Tidak Tahu, Bingung Dan Lengah
Baca juga: QS. Al-Nur [24]: Ayat 35: Wahdatul Wujud (1); Kafir Atau Tidak?

1. Isyarat Rahasia
Ini makna wahyu secara kebahasaan. Sebagaimana ayat yang tercantum surah Maryam berkenaan dengan Nabi Zakaria a.s.: “Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat kepada mereka, “Hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang” (QS. Maryam [19]: 11).

Baca Juga :  QS. Al-Isra' [17]: Ayat 73; Kapan Ulama Menjadi Kawan Musuh?

2. Petunjuk Naluriah
Yaitu petunjuk-petunjuk yang bersifat naluriah yang ada di dalam diri semua makhluk. Setiap makhluk, baik itu benda padat, tumbuhan, hewan dan manusia, secara instingtif mengetahui jalan keabadian dan keberlangsungan hidupnya. Petunjuk yang bersifat naluriah ini disebut dalam Alquran dengan nama wahyu.

“Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah, “Buatlah sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu dan di tempat-tempat yang dibuat manusia. Kemudian makanlah dari segala (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu)” (QS. Al-Nahl [16]: 68-69).

Petunjuk yang bersifat naluriah yang ada dalam diri segala sesuatu merupakan misteri yang terselubung. Misteri-misteri alam itu memiliki pengaruh menakjubkan yang dapat dilihat. Meski demikian, sumbernya tersembunyi dari semua pandangan. Fenomena ini layak disebut dengan nama wahyu.

“Dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya …” (QS. Fushshilat [41]: 12).

Baca juga: QS. Al Imran [3]: Ayat 118; Seni Rahasia Dalam Politik Dan Hukum-Hukum Musuh
Baca juga: Telah Terbit: Tafsir Imam Ghazali

3. Ilham (Bisikan Gaib)
Kadangkala manusia menerima pesan, tetapi tidak mengetahui dari mana asal pesan tersebut. Biasanya pesan ini muncul dalam kondisi terdesak, ketika dia menganggap telah menapaki jalan buntu. Tiba-tiba, muncul pancaran dari dalam hati yang memberitahu adanya jalan terang dan memberi harapan untuk terbebas dari kesulitan. Pesan-pesan pemberitahu jalan keluar ini adalah suara gaib yang membantu manusia dari balik layar wujud. Inilah inayah Sang Pencipta kepada alam semesta.

Suara gaib dari inayah Ilahiah ini, disebut oleh Al-Quran dengan nama wahyu. Berkenaan dengan ibunda Nabi Musa as Alquran mengisahkan:

“Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa, “Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka hanyutkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul” (QS. Al-Qashash [28]: 7).

“Dan sesungguhnya Kami telah memberi nikmat kepadamu pada kesempatan yang lain, yaitu ketika Kami mengilhamkan kepada ibumu suatu yang diilhamkan, “Letakkanlah ia (Musa) di dalam peti, kemudian lemparkanlah ia ke sungai (Nil), maka pasti sungai itu membawanya ke tepi, supaya diambil oleh (Fir’aun) musuh-Ku dan musuhnya. Maka Kami mengembalikanmu kepada ibumu, agar senang hatinya dan tidak berduka cita” (QS. Thaha [20]: 37-40).

Ketika Musa a.s. lahir, ibunya mengkhawatirkan nasibnya. Tiba-tiba dalam hati sang ibu muncul kepasrahan untuk bertawakal kepada Tuhan. Kemudian dia menyusui bayinya. Meski khawatir, dia letakkan Musa a.s. di dalam peti yang kemudian melepaskannya di aliran sungai. Namun, ia yakin bahwa bayinya kelak kembali kepadanya. Ibu Nabi Musa a.s. merasa ada yang menenangkannya dari kesedihan. Pada saat itulah ia bertawakal dan menyerahkan nasib bayinya kepada Allah SWT.

Itulah suara yang melintas dalam hati ibu Nabi Musa a.s. Ia memiliki secercah harapan yang kuat. Ia tidak memikirkan sesuatu yang lain, selain Tuhan. Pikiran yang menerangi jalan dan menolongnya dari kesulitan dan ketakutan seperti ini adalah ilham rahmani dan inayah rabbani yang menghampiri hamba-hamba saleh ketika berada dalam posisi terdesak.

Baca Juga :  Muhkam dan Mutasyabih (1): Definisi, Perbedaan dan Hikmah Keberadaannya

Alquran juga menggunakan kata wahyu untuk menyebut bisikan setan: “Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan indah untuk menipu (manusia)” (QS. Al-An’am [6]: 112).

“Sesungguhnya setan-setan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu” (QS. Al-An’am [6]: 121).

Dalam surah Al-Nas disebutkan: “Dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia. Dari (golongan) jin dan manusia.”

Baca juga: QS. Maryam [19]: Ayat 96; Syarat Menjadi Manusia Rahmatan Lil Alamin
Baca juga: QS. Al Imran [3]: Ayat 169; Jihad Dan Syahid, Dua Ajaran Unik Dan Istimewa

4. Wahyu Kerasulan 
Wahyu ini hanya khusus bagi nabi. Dalam Alquran, wahyu kerasulan (risaliy) disebut lebih dari 70 kali:

“Demikianlah Kami wahyukan kepadamu Alquran dalam bahasa Arab supaya kamu memberi peringatan kepada penduduk Mekkah dan penduduk (negeri-negeri) sekelilingnya” (QS. Al-Syura [42]: 7).

“Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan al-Quran ini kepadamu” (QS. Yusuf [12]: 3).

Para nabi adalah orang-orang yang mencapai derajat kesempurnaan, karena mereka telah mempersiapkan diri untuk menerima wahyu. Berkaitan pendapat ini, Imam Hasan Askari berkata, “Sesungguhnya Allah mendapati hati dan jiwa Muhammad sebaik-baik hati, maka Dia memilihnya sebagai nabi-Nya.” (Majlisi, Muhammad Baqir, jld. 18, hal. 205, hadis ke-36).

Karenanya menambah pengetahuan dan kesiapan menerima pesan samawi ini menjadi sangat penting. Tujuannya adalah mengikis habis segala ikatan jasmani dari diri seseorang hingga layak menjalin hubungan dengan para malakut. Rasulullah  SAW bersabda, “Allah tidak akan mengutus seorang nabi atau rasul melainkan Dia sempurnakan akalnya dan jadilah akalnya lebih unggul dari seluruh akal umatnya.” (Muhammad bin Ya’qub Kulaini, Ushul Al-Kafi, jld. 1, hlm.13).

Baca juga: QS. Al-Baqarah [2]: Ayat 42; Cara Membuat Hoax
Baca juga: QS. Al Imran [3]: Ayat 169; Jihad Dan Syahid, Dua Ajaran Unik Dan Istimewa

Mulla Sadra berpendapat bahwa batin Nabi SAW dihiasi dengan hakikat kenabian jauh sebelum beliau lahir. Hal ini telah diketahui secara sempurna oleh para nabi. Nabi telah menghias batinnya secara gemilang dengan kesempurnaan insani, jauh hari sebelum beliau menampakkannya. Pada saat itulah qalib (jasad) menyandang predikat qalb (hati). Itulah yang muncul dan tampak dari nabi. Pertama beliau melakukan perjalanan dari al-khalq (makhluk) menuju Al-Haqq. Kemudian perjalanannya dilanjutkan dari sisi Al-Haqq bersama Al-Haqq menuju al-khalq (makhluk)  (Shadruddin Syirazi, Syarh Ushul Al-Kafi, jld. 3, hlm.454).

“Katakanlah, “Barangsiapa yang menjadi musuh Jibril, maka (ketahuilah) maka dialah yang telah menurunkan [Al-Quran] ke dalam hatimu dengan izin Allah” (QS. Al-Baqarah [2]: 97).

“Dia dibawa turun oleh ar-Ruh al-Amin ke dalam hatimu (Muhammad) agar engkau termasuk orang-orang yang memberi peringatan” (QS. Al-Syu’ara [26]: 193-194).

Baca Juga :  Tahukah Anda Ayat Alquran Paling Adil? Ini Dia!

Wahyu sama seperti ilham. Keduanya menjadikan jiwa terang. Bedanya adalah sumber ilham tidak diketahui oleh yang mendapatkannya, sementara sumber wahyu jelas bagi mereka yang mendapatkannya. Para nabi tidak pernah merasa bingung dan salah ketika menerima pesan samawi, karena mereka bergegas menyambutnya dengan kesadaran yang utuh dan lapang dada.

Imam Ja’far al-Shadiq ditanya, “Bagaimana Nabi bisa percaya bahwa apa yang sampai kepadanya adalah wahyu Ilahi, bukan bisikan setan?” Ia menjawab, “Sesungguhnya setiap Allah memilih seorang hamba sebagai nabi, maka Dia menganugerahkan ketenangan kepadanya, sehingga apa yang sampai kepadanya dari Allah, sama seperti yang dilihat dengan matanya.” (Muhammad bin Mas’ud Ayyasyi Samarqandi, Tafsir Al-Ayyasyi, jld. 2, hlm. 201, hadis ke-106; Bihar Al-Anwar, jld. 18, hlm. 262, hadis ke-16).

Imam Ja’far al-Shadiq juga pernah ditanya, “Bagaimana bisa para nabi tahu kalau mereka adalah nabi?”  Ia menjawab, “Telah disingkap tirai dari mereka.” (Bihar Al-Anwar, jld. 11, hlm. 56, hadis ke-56).

Para nabi telah tuntas melewati jenjang ilmul yaqin, kemudian mengarungi ainul yaqin dan mencapai haqqul yaqin ketika diutus sebagai nabi. Karenanya, tak perlu heran jika di lautan manusia, ada orang-orang pilihan yang suci, tampil ke permukaan, mengemban risalah Ilahi, menyampaikan pesan samawi untuk manusia supaya beruntung. Sebagaimana firman-Nya dalam Alquran:

“Pantaskah manusia menjadi heran bahwa Kami mewahyukan kepada seorang laki-laki di antara mereka, “Berilah peringatan kepada manusia dan gembirakanlah orang-orang beriman bahwa mereka memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Tuhan.” Orang-orang kafir berkata, “Sesungguhnya orang ini (Muhammad) benar-benar penyihir yang nyata” (QS. Yunus [10]: 2).

Untuk menghilangkan segala keheranan dan prasangka buruk, Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya Kami telah mewahyukan kepadamu (Muhammad) sebagaimana Kami telah mewahyukan kepada Nuh dan nabi-nabi setelahnya, dan Kami telah mewahyukan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya; Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan Kami berikan Zabur kepada Dawud. Dan beberapa rasul yang telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu sebelumnya dan ada beberapa rasul yang tidak kami kisahkan kepadamu. Dan kepada Musa Allah berfirman langsung. Rasul-rasul itu adalah sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah setelah rasul-rasul itu diutus. Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana. (Mereka tidak mau mengakui yang diturunkan kepadamu itu), tetapi Allah menjadi saksi atas (Alquran) yang diturunkannya kepadamu (Muhammad). Dia menurunkannya dengan ilmunya, dan malaikat-malaikat pun menjadi saksi. Cukuplah Allah yang menjadi saksi. Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan menghalang-halangi (orang lain) dari jalan Allah, benar-benar telah sesat sejauh-jauhnya” (QS. Al-Nisa’ [4]: 163-167).

Bukan sebuah peristiwa yang mengherankan jika ada seseorang yang mendapatkan wahyu. Inilah fenomena yang selalu berseiring bersama manusia sepanjang sejarah.

__________________
Referensi: Muhammad Hadi Ma’rifat, Tarikh Al-Qur’an, Majma Jahani Ahl Al-Bait, Qom, 1388 HS.
Untuk referensi selengkapnya bida menghubungi redaksi.

Share Page

Close