• LAINYA

[arabic-font]ذَٰلِكَ ٱلۡكِتَٰبُ لَا رَيۡبَۛ فِيهِۛ هُدٗى لِّلۡمُتَّقِينَ[/arabic-font]

Itulah kitab; tidak ada keraguan di dalamnya; petunjuk bagi orang-orang bertakwa.”

(QS. Al-Baqarah [2]: 2)

 Penjelasan Kata

  • Takwa berasal dari kata waqā atau wiqāyah  yang berarti melindungi dan menjaga. Murtadha Muthahhari menerjemahkannya dengan “menjaga diri” atau mawas diri.
  • Adapun pemaknaan takwa sebagai takut [kepada Allah SWT] lebih mengacu kepada makna asosiatif, yakni konsekuensi dari jaga-diri dan mawas-diri ialah komitmen menjaga hukum-hukum Allah, dan ini bisa terlaksana dengan motif takut kepada-Nya, sebagaimana juga terlaksana dengan motif harap dan cinta kepada-Nya.

Hadis

  • Ahmad dan Ibn Abu Duniya meriwayatkan dari Said ibn Abu Said Al-Maqburiy, ia berkata, “Kami telah mendengar bahwa seseorang datang menemui Isa a.s. dan berkata, ‘Hai guru kebaikan, bagaimana aku bisa menjadi orang yang bertakwa kepada Allah sebagaimana mestinya?’ Isa berkata, ‘Itu mudah: kamu mencintai Allah dengan sepenuh hatimu, bekerja dengan segenap tenaga dan kekuatanmu apa yang dapat kamu lakukan, dan menyayangi sesama jenismu sebagaimana kamu menyayangi dirimu sendiri.’ Orang itu bertanya lagi, ‘Siapa sesama jenisku, hai guru kebaikan?’ Isa menjawab, ‘Seluruh anak Adam. Dan apa pun yang tidak kamu inginkan bagi dirimu janganlah kamu lakukan kepada siapa pun. Maka kamu adalah orang yang bertakwa kepada Allah sesungguh-sungguhnya.’” (Jalaluddin Al-Suyuthi, Al-Durr Al-Mantsûr, jld. 1, hlm. 134).
  • Diriwayatkan dari Abu Ja’far, Imam Muhammad Al-Baqir ra. berkata, “Ada tiga orang membaca Al-Quran: orang yang membaca Al-Quran lalu menjadikannya sebagai barang jualan; dengannya ia membujuk para penguasa dan dengannya pula berbangga di hadapan masyarakat, orang yang membaca Al-Quran, menghafal huruf-hurufnya, menyia-nyiakan hukum-hukumnya dan menegakkannya seperti menegakkan gelas (kiasan untuk perbuatan temporal), semoga Allah tidak memperbanyak segolongan pemegang Al-Quran itu. Dan orang yang membaca Al-Quran lalu meletakkan obat Al-Quran pada penyakit hatinya sehingga, dengannya, ia menghabiskan malamnya dengan terjaga, dengannya ia lewatkan siangnya dengan rasa haus, dan dengannya ia berdiri [ibadah] di masjid-masjid, lambungnya jauh dari tempat tidurnya. Maka berkat mereka inilah Allah Yang Maha Perkasa dan Mahakuat menolak bencana, dengan mereka inilah Allah SWT memenangkan Muslimin atas musuh-musuh, dan dengan mereka inilah Allah SWT menurunkan hujan rahmat dari langit. Maka demi Allah, golongan pembaca Al-Quran ini sungguh lebih mulia daripada eliksir merah” (Tuhfat Al-Awliyā’, jld. 5, hlm. 671).
Baca Juga :  Takwil: Makna dan Bedanya dengan Tafsir

Tadabur

  • Mufasir kontemporer, Jawadi Al-Amuli, dalam kuliah tafsirnya mengatakan bahwa, dalam banyak keadaan, ungkapan dzālika (itu, sebagai lawan dari hādzā ‘ini’) yang digunakan dalam Al-Quran bisa jadi menyinggung derajat hakikat Al-Quran yang ada di Lauh Mahfudz di sisi Allah SWT. Dan boleh jadi ayat ini hendak mengungkapkan, “Itulah Al-Quran yang tidak ada keraguan, kerapuhan, dan guncangan di dalamnya; jika tidak demikian, akan banyak orang yang ragu terhadap Al-Quran yang ada di tangan kita ‘ini’ (Al-Quran ini). Oleh karena itu, jika kita ingin menjangkau Al-Quran yang tidak ada keraguan dan tidak ada guncangan di dalamnya, kita harus bergerak ke arah Al-Quran ‘itu’.
  • Mana jalan yang harus kita tempuh menuju Al-Quran itu? Dalam lanjutan ayat disebutkan, “petunjuk bagi orang-orang bertakwa.” Maka, tidak ada jalan lain untuk bergerak menuju dan menjangkau derajat hakikat Al-Quran di Lauh Mahfudz itu kecuali dengan takwa; jaga diri dan mawas diri.
  • Dipercayai sepenuhnya bahwa Al-Quran merupakan kitab petunjuk bagi seluruh manusia: “petunjuk bagi manusia” (QS. Al-Baqarah [2]: 185). Lantas, mengapa petunjuk Al-Quran ini hanya tertuju pada sekelompok manusia, yaitu orang-orang yang bertakwa? (lihat juga QS. Al-Isra’ [17]: 9). Ya, walaupun Al-Quran diturunkan untuk segenap manusia, namun hanya orang-orang bertakwalah yang menyerap dan memanfaatkan cahaya petunjuknya (Al-Thabarsi, Majma‘ Al-Bayān fī Tafsīr Al-Qur’ān, jld. 1, hlm. 118). Karena itu, jika kita meneguhkan hati dan itikad untuk bergerak menuju Al-Quran yang tidak ada keraguan di dalamnya itu dan memperoleh manfaat dari petunjuknya, kita harus pastikan dirinya sebagai orang bertakwa.
  • Orang bertakwa yaitu manusia yang sadar diri, mawas diri, menjaga diri selamat dan bersih dari sifat buruk dan perilaku tak terpuji. Untuk menjadi orang bertakwa, kita hanya harus peduli pada diri sendiri; tidak membiarkan diri kita ditransaksikan dan ditukar dengan hal-hal yang tak bernilai. Diri kita yang sesungguhnya ialah keberadaan kita yang akan tetap ada dengan kematian dan kehancuran jasad kita. Jalaluddin Rumi mengatakan, “Jangan kau bangun rumah di tanah orang – Lakukan kerja diri sendiri, bukan karsa orang; Siapa yang asing? Dialah badan tanahmu – Yang karenanya kau curahkan kuatirmu; Selama badanmu kau asupi lemak dan manis – Hakikat dirimu tak kan berkembang kokoh.” (Jalaluddin Rumi, Matsnawi Ma’nawi, bait 263-265).
  • Bertakwa yaitu seperti diungapkan Hafez, “penjaga tempat suci hati” (Divan Hafez, ghazal 324). Bertakwa yaitu golongan ketiga yang disinggung oleh Imam Muhammad Al-Baqir ra. dari tiga golongan pembaca Al-Quran. Untuk itu, berusahalah tahu diri, mengenali diri sendiri dan mawas diri sehingga, manakala kita berbicara dengan Allah SWT, jendela hati kita terbuka menerima pemahaman makna ayat-ayat-Nya.
  • Telaah dan perhatian kita pada Al-Quran akan membantu kita menjangkau hakikat dan makna ayat-ayatnya, dan melindungi kita dari keraguan, kebimbangan, kekacauan dan guncangan, baik dalam hati ataupun dalam pikiran. Peringatan Imam Muhammad Al-Baqir ra. perlu diperhatikan secara serius; jangan sampai kita merenungkan dan membahas ayat-ayat Al-Quran hanya untuk keuntungan duniawi dan memuaskan hadirin di forum; jangan sampai kita hanya membaca Al-Quran sebatas huruf-hurufnya, namun mengabaikan dan menyia-nyiakan hukum-hukumnya.
  • Hidayah dan petunjuk merupakan falsafah dan misi utama penurunan Al-Quran. Maka, setiap hari kita diingatkan agar kita meminta kepada Allah SWT untuk mendapatkan petunjuk hidayah. Hidayah bukan hak istimewa manusia; semua makhluk membutuhkan petunjuk, dan Allah SWT dengan ke pengaturan universal-Nya memenuhi segenap sarana yang diperlukan untuk memperoleh hidayah. Pada hakikatnya, hidayah adalah kesempurnaan semua makhluk; setiap makhluk akan menemukan kesempurnaan yang khas bagi dirinya. Dan kita, manusia, diberi keistimewaan untuk menentukan pencapaian kesempurnaan dengan kehendak diri kita sendiri; jangan sampai kita Justru lebih hina daripada segenap makhluk Allah dan tertinggal jauh dari mereka. Jika ingin tidak tertinggal dan lebih hina dari batu, kayu, binatang bahkan malaikat, tidak ada jalan lain kecuali bergerak di atas hidayah dan petunjuk Al-Quran.[ph]

Share Page

Close