• LAINYA

TAFSIR-QURAN.COM – Indonesia masa lalu, ketika itu masih disebut Nusantara, sudah menjadi titik tuju para pendatang dari mancanegara. yang paling signifikan mempengaruhi sejarah dan perjalanan bumi pertiwi ini, di antaranya, peradaban dan budaya yang mereka bawa ke tanah ini, termasuk dari tradisi Islam. Ilmu pengetahuan pun segera berkembang pesat dan, hingga kini, telah mewariskan khazanah manuskrip kitab keagamaan dalam jumlah besar. Hal yang sebetulnya membuat Indonesia patut disebut sebagai salah satu pusat keilmuan Islam dunia. Kitab tafsir Turjuman al-Mustafid satu dari sekian bukti faktual.

Turjuman al-Mustafid merupakan kitab tafsir Al-Quran pertama dan terlengkap yang ditulis di Nusantara dalam bahasa Melayu oleh seorang ulama Melayu-Nusantara (Aceh). Pada masa itu, bahasa Melayu sudah dipercaya sebagai lingua-franca yang digunakan masyarakat di kawasan Asia Tenggara. Setidaknya, kitab tafsir ini yang pertama di kawasan.

Gambar di samping adalah halaman pertama dari naskah kitab tafsir Turjuman al-Mustafid karangan Syaikh ‘Abd al-Rauf as-Sinkili al-Jawi, seorang ulama Nusantara asal Aceh di abad ke-12 H/17 M (w. 1105 H/ 1693 M). Naskah ini merupakan edisi cetakan Maktabah Utsmaniyah, Istanbul, dengan tahun cetak 1884 M.

Berbagai peneliti telah melakukan riset serius terkait edisi naskah Turjuman al-Mustafid. menurut hasil penelitian Peter Riedl, di pastikan ada sekitar 10 salinan manuskrip Tarjuman Al-Mustafid yang tersimpan di Perpustakaan Nasional (PNRI) Jakarta, sementara di mancanegara, ia memasukkan edisi Istanbul di urutan pertama dalam daftar lima edisi cetakan kitab ini .

Alhasil, selain di Turki, tafsir tersebut juga dikenal di kalangan Muslim mancanegara, dicetak berkali-kali di Singapura, Penang Malaysia, Bombay India, Afrika Selatan, serta kawasan Timur Tengah, seperti Kairo dan Makkah, dan terakhir kali terbit pada 1984 di Jakarta.

Baca Juga :  Sayyid Qutb: Mufasir yang Mencita-citakan Negara Islam

Setelah era tafsir Tarjuman al-Mustafid, menurut Hakiki, dunia penafsiran Al-Quran di Indonesia mengalami kevakuman hampir tiga abad lamanya. Baru setelah itu, aktivitas kajian Alquran, penerjemahan, dan penafsiran mulai muncul kembali pada awal abad 19.

Turjuman al-Mustafid sebenarnya lebih merupakan terjemahan (setidaknya resensi) dari kitab “Tafsir Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil” atau yang dikenal dengan Tafsir al-Baydhawi karangan al-Qadhi al-Baidhawi (w. 685 H/ 1286 M), sebuah kitab tafsir legendaris yang banyak tersebar dan dijadikan rujukan utama di dunia Sunni (di dunia Mu’tazilah ada Tafsir al-Kasysyaf karya al-Zamakhsyari, w. 538 H/ 1143 M).

Kenyataan di atas ditegaskan oleh tulisan yang terdapat di atas kalimat pembuka “basmalah” pada halaman naskah di atas, yaitu: إنيله تفسير البيضاوي  “inilah tafsir al-baidhawi”. Sementara itu, di sampul naskah kitab edisi tersebut, juga terdapat tulisan sebagai berikut: ترجمان المستفيد في تفسير القرآن المجيد يغ دترجمهكن دغن بهاس ملايو يغ دأمبيل ستنه معنان درفد تفسير البيضاوي (Turjuman al-Mustafid fi Tafsir al-Quran al-Majid yang diterjemahkan dengan bahasa Melayu yang diambil setengah maknanya daripada Tafsir al-Baidhawi).

Tahun cetak naskah “Turjuman al-Mustafid” pada 1884 M sekaligus tempat dicetaknya di Istanbul, setidaknya menunjukkan beberapa hal penting:

Pertama, kitab tersebut terus digunakan sebagai kitab acuan dan pegangan tafsir al-Qur’an oleh masyarakat Muslim Nusantara selama berabad-abad lamanya (dikarang di medio abad ke-17 M, dan dicetak di akhir abad ke-19 M). Sebelum dicetak di Istanbul, kitab tersebut terlebih dahulu diedit oleh tiga orang ulama Nusantara asal Pattani dan Kelantan, yaitu Ahmad al-Fathani, Idris al-Kalantani, dan Dawud al-Fathani.

Kedua, kitab tersebut dicetak di Istanbul, ibu kota Kekhilafahan Islam. Besar kemungkinan kitab tersebut juga terdistribusikan sekaligus menjadi pegangan para santri asal Nusatara yang tengah belajar di Mekkah-Madinah (Hijaz), Kairo (Azhar), dan Istanbul. Keempat kota itu pada masa tersebut masih tersatukan sebagai kota-kota provinsi Kekhalifahan Ottoman.

Baca Juga :  Sayyid Murtadha: Mufasir Takwil

Ketiga, masih kuatnya jaringan intelektual Islam antara Nusantara, Haramayn, Kairo, dan Istanbul pada masa itu (abad ke-19 M). Pada masa al-Sinkili (abad ke-17 M), mahaguru ulama Nusantara di Haramayn adalah Syaikh Ibrahim al-Kurani, maka di masa dicetaknya kitab tersebut (abad ke-19 M), mahaguru ulama Nusantara di Haramayn adalah Syaikh Ahmad Zaini Dahlan dan Syaikh Nawawi al-Bantani, sementara di Kairo adalah Syaikh Ibrahin al-Baijuri (sayap tradisionalis) dan Syaikh Muhammad Abduh (sayap modernis). Sayangnya, jaringan intelektual Nusantara-Istanbul pada masa itu masih belum terlacak.(disarikan dari berbagai sumber).

Share Page

Close