• LAINYA

FILSAFAT-POLITIK–Iqbal tidak sendirian. Ada nama-nama muslim yang searus pemikiran, segerbong cita-cita, selokomotif pergerakan di masanya di patahan abad 19 dan 20. Tetapi mereka bukan berarti banyak. Di setiap negara bisa dijumpai nama-nama itu. Ada Muhammad Abduh di Mesir. Ada Abdullah Utsman Al-‘Ala’ili di Lebanon. Ada Ahmad Dahlan dan Hasyim Asy’ari di Indonesia. Ada pula yang lintas wilayah meninggalkan banyak jejak di banyak negara Timur Tengah. Dialah Jamaluddin Al-Afghani.[1]

Baca Sebelumnya: Visi Keperadaban Filsafat Muhammad Iqbal (1): nyaris Satu Abad Tetap Aktual

Nama terakhir disebut ini begitu dihormati Iqbal sebagai salah satu mentor perjuangannya membangkitkan roh dari tubuh umat. Mereka disatukan dengan satu aklamasi yang tak terencana: kembali dan berakar pada Kitab Suci. Umumnya tokoh-tokoh Muslim yang memiliki visi peradaban, dengan beragam tipe dan orientasinya, dapat dipastikan punya keterikatan kuat dan pendirian kokoh mereka bersama Alquran.

Lebih dari itu, dalam agenda dan gerakan perubahan mereka, Alquran menempati posisi poros hingga sebagian mereka tak jarang berbicara layaknya mufasir. Hal ini berlaku pada ulama reformis dan revolusioner sepanjang abad 20, mulai dari Sayyid Qutb di Mesir, Said Nursi di Turki, Baqir Shadr di Iraq, Abed Al-Jabiri di Maroko, hingga Ruhullah Khomeini di Iran.[2]

Mereka pada umumnya memiliki karya yang secara langsung terkait dengan Alquran. Dan segudang pemikir Muslim lainnya seperti: Ali Syariati, Murtadha Muthahari, Al-Maududi, juga demikian. Iqbal sendiri dalam Rekonstruksi-nya menjadikan Alquran sebagai pusat gravitasi dan visi peradabannya. Adikaryanya ini dibuka dengan segugus kalimat, “Alquran adalah sebuah kitab yang menekankan perbuatan daripada pemikiran.”

Menjadi aneh dan tampak omong kosong bila ada tokoh perubahan di dunia Islam namun tidak punya keunikan dalam menggali Alquran. Keunikan Iqbal ialah kebiasaannya menyisipkan elemen-elemen tafsir dengan corak yang khas, yaitu saintifik. Alquran dibaca oleh Iqbal untuk merespon ruang konkret yang terabaikan oleh nalar Muslimin sejak era yang disebut Hossein Nasr sebagai Abad Keemasan hingga masa yang ia jalani.

Baca Juga :  Etika Berpikir, Meneliti dan Beriman dalam Alquran (1): Kesadaran "Tidak Tahu" dan Tahu Diri

 

IQBAL DAN ORIENTASI TAFSIR

Alquran adalah roh yang hingga abad 20 belum sepenuhnya merasuki rongga dan sendi umat Islam. Ketimpangan ini menihilkan vitalitas dan efek hidup layaknya roh. Dalam pantauan ilmiah Iqbal, ada ayat-ayat yang lebih seribu tahun mengendap hanya di atas kertas, diabaikan muslimin hingga membuat mereka terpuruk dan terbelakang dari bangsa lain. itulah ayat-ayat alam, ayat-ayat dunia fisik yang harus dibaca sealakadarnya dengan indra empirik dan observasi, tanpa menanggalkan peran akal budi.

Iqbal menekankan, “Tujuan pokok Alquran ialah membangkitkan kesadaran yang lebih tinggi dalam diri manusia terkait berbagai relasinya dengan Tuhan dan alam semesta”. Lebih tegas lagi, “Sikap umum Alquran yang empiris—adanya ayat-ayat kauniyyah—ialah guna menambahkan perasaan hormat dalam diri pengikutnya terhadap yang konkret dan puncaknya membuat mereka menjadi penemu-penemu sains modern. Memang tujuan agungnya adalah membangkitkan semangat empiris manusia di zaman yang telah menafikan nilai realitas konkret dalam usaha mencari Tuhan.”[3]

Tidak perlu dipertentangkan antara yang-konkret dan yang-abstrak, seperti juga lahir dan batin, jiwa raga, dunia akhirat berpadu secara kompak dan saling mengisi. Fokus intelektual terhadap realitas konkret sesungguhnya jembatan yang menyeberangkan intelek manusia menembus yang konkret itu dan menjangkau lapisan abstrak dan transenden.

Karena itu, tidak berlebihan bila Iqbal diangkat sebagai salah satu pemikir mempelopori tafsir saintifik (al-tafsir al-‘ilmi).

Ayat-ayat alam itu penting bagi Iqbal dalam rangka sekaligus memberikan penjelasan: kenapa kaum muslimin itu tertinggal dari Barat? Ia menulis, “Karena kaum Muslim tidak memanfaatkan ayat-ayat Alquran yang terkait dengan alam. Mereka banyak terfokuskan pada pemahaman Alquran yang bercorak sufistik atau filosofis. Keadaan seperti ini membuat kaum muslimin tidak maju, berhenti pada tataran konsep belaka yang berdampak nir-peradaban.”[4]

Baca Juga :  Visi Keperadaban Filsafat Muhammad Iqbal (1): nyaris Satu Abad Tetap Aktual

Orientasi saintifik dalam pemahaman Iqbal atas Alquran, selanjutnya atau sebelumnya, menjadi alternatif pemecah kebuntuan sekaligus dekadensi umat Islam yang dipicu, utamanya, oleh dua tradisi yang paling disegani sekaligus dicurigai oleh elit Muslimin: tasawuf dan filsafat.BERSAMBUNG

Share Page

Close