• LAINYA

[arabic-font]وَيْلٌ يَوْمَئِذٍ لِلْمُكَذِّبِيْن‏[/arabic-font]

“Celakalah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan.”

(QS. Al-Mursalat [77]: 15)

Terjemah Kata

  • وَيْلٌ (wayl)                  = celakalah
  • يَوْمَئِذٍ (yawma’idzin)  = pada hari itu
  • لِلْمُكَذِّبِيْن (li al-mukadzdzibīn) = bagi orang-orang yang mendustakan

Studi Kebahasaan

  • Wayl dalam bahasa Arab merupakan ungkapan rasa iba dan kasihan, maka ia berarti ‘betapa malangnya’. Kata ini juga berarti ungkapan puncak kekecewaan dan keputusasaan terhadap seseorang. Ia juga bisa berupa doa buruk sebagai bentuk kecaman dan ancaman akan bencana dan kebinasaan (al-Mustafawi, al-Tahqīq fī Kalimāt al-Qur’ān al-Karīm, jld. 13, hlm. 244).

 

Hadis

  • Tatkala ayat ini turun, “Celakalah bagi orang-orang yang shalat, yaitu mereka yang lalai terhadap shalat mereka”, Rasulullah bersabda, “Allahu Akbar! Ayat ini lebih baik bagi kalian daripada setiap orang dari kalian yang diberi seluruh dunia, yaitu orang yang, jika shalat, tidak bisa diharapkan dampak baik shalatnya dan, jika meninggalkan shalat, dia tidak takut pada Tuhannya” (al-Durr Al-Mantsūr, jld. 15, hlm. 687).

Tadabur

  • Orang yang berbuat pelanggaran hukum Allah berpeluang kembali insaf dan bertaubat atau, jika tidak, ia bisa disiksa dengan berbagai bencana dan balasan. Akan halnya orang yang fanatik atau angkuh hingga mendustakan kebenaran dan menutup mata dari fakta, maka selama memendam fanatisme dan sifat angkuh, hatinya membatu hingga sulit dihadapkan kembali sadar (QS. Ql-Baqarah [2]: 6; QS. Yasin [36]: 10). Hanya satu kata yang tepat untuk dirinya, “celakalah!”
  • Mendustakan kebenaran bukan hanya mengingkari atau menutup-nutupi kebenaran. Pendustaan kebenaran juga bisa berupa membuat kebohongan, menyebarkan dan mengulang-ulang kebohongan sampai membentuk opini publik dan dianggap kebenaran. Pendustaan paling nista terhadap kebenaran ialah mengetahui kebenaran dan memanfaatkannya untuk maksud dan kepentingan kotor. “Maka celakalah orang-orang yang menulis kitab dengan tangan mereka kemudian mengatakan, ‘Ini dari Allah’, untuk [tujuan] menjualnya dengan harga murah. Maka, celakalah mereka karena apa yang telah ditulis oleh tangan mereka dan celakalah mereka karena apa yang mereka perbuat” (QS. al-Baqarah [2]: 79).
  • Orang yang mendustakan kebenaran boleh jadi hidup nyaman secara lahiriah, tetapi “pada hari itu” semua rahasia dan batin akan terungkap hingga ia seolah baru saja terjaga dari tidur, “betapa celakanya aku!”
  • Mendustakan bukan hanya dengan kata-kata dan tulisan, tetapi juga dengan perbuatan. Tatkala kita melihat ada peringatan bahaya lalu membiarkan dan tidak berbuat apa-apa untuk mengatisipasi atau melakukan pencegahan dan penyelamatan, sesungguhnya kita sudah mendustakan peringatan dan kenyataan bahaya itu. Manakala kita diberitahu tamu akan tiba namun kita tidak menyiapkan diri untuk menyambutnya, kita sudah mendustakan kedatangan tamu itu. Tatkala kita membutuhkan pekerjaan namun malas dan tidak mencoba peluang kerja, artinya kita sudah mendustakan diri sendiri.
  • Ini merupakan pengalaman yang lazim dijumpai. Lantas, bagaimana terhadap janji-janji Allah? Misalnya, apakah ada kecenderungan pada diri kita mendustakan hukum Allah tatkala kita diseru azan untuk segera melakukan shalat namun masih menunda-nunda dan memprioritaskan pekerjaan lain?! Apakah kita ada tahu sedang mendustakan neraka tatkala menggunakan media untuk menulis kebohongan dan menyebarkan aib orang lain?!
  • Jika kita sadari, dalam berperilaku dan merespon juga kita berdusta dan mengingkari kebenaran, maka mengulang-ulang penekanan dan peringatan “celakalah!” dalam al-Quran sangat berarti dan diperlukan, karena dalam perbuatan dan perilaku itulah manusia lebih berpeluang mendustakan kebenaran.
  • Ungkapan “celakalah” dalam al-Quran tidak hanya ditujukan kepada orang-orang kafir dan penindas, tetapi juga bahkan kepada orang-orang yang melakukan shalat dan ahli ibadah yang lalai, riya dan tidak peduli terhadap masyarakat (QS. Al-Ma’un [107]: 4-7).

Share Page

Close