• LAINYA

TAFSIR-QURAN.COM–Ayat yang menggunakan kata dhāll (sesat) dalam mendeskripsikan pengalaman hidup Nabi SAW ialah di surah pendek Al-Dhuha. Perlu dicatat di awal sekali bahwa ayat ini penting disoroti mengingat, selain mudah disalahpahami, juga kerap disalahgunakan untuk menjatuhkan martabat mulia Nabi SAW dengan mencari-cari sedapat mungkin catatan buruk sebelum diutus menjadi nabi dari dalam Alquran. Kata dhāll (sesat) lantas diartikan dalam arti yang memenuhi maksud mereka (Al-‘Amili, Mukhtashar Mufid, jld. 1, hlm. 178).

[arabic-font]وَوَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَىٰ[/arabic-font]

“Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung lalu Dia memberikan petunjuk.”
(QS. Al-Dhuha [93]: 7)

Apakah benar, menurut ayat ini, Nabi SAW pernah menjadi orang sesat? Apakah maksud dari sesat di sini? Apakah kata Arab dhāll hanya berarti sesat ataukah ada makna lain? Kalau ada, ada berapa makna selain sesat yang digunakan Alquran untuk kata dhāll?

Terjemahan di atas, untuk sementara, dipilih dari versi kemenag. Di dalamnya, kata dhāll tidak diartikan dengan sesat, tetapi dengan ‘bingung’. Tampaknya, terjemahan ini lebih merupakan tafsiran, dan ini sesuai dengan salah satu penafsiran atas ayat, bahwa di tengah kondisi masyarakat Jahiliyah Arab yang serba-dekaden, Nabi bingung tentang cara apa yang harus ia tempuh dalam mengubah, memperbaiki dan membangun masyarakat ideal. Tafsiran kemenag ini dapat dijumpai, di antaranya, dalam Al-Tafsīr Al-Kāsyif, karya Jawad Al-Mughniyah (jld. 7, hlm. 579).

Baca juga: QS. Al-Nur [24]: Ayat 35: Wahdatul Wujud (1); Kafir Atau Tidak?
Baca juga: QS. Al-Baqarah [2]: Ayat 42; Cara Membuat Hoax
Baca juga: QS. Al Imran [3]: Ayat 169; Jihad Dan Syahid, Dua Ajaran Unik Dan Istimewa
Baca juga: QS. Al Imran [3]: Ayat 118; Seni Rahasia Dalam Politik Dan Hukum-Hukum Musuh

Para mufasir sepakat bahwa kata Arab ini berarti banyak sehingga, karena ini pula, terjadi banyak penafsiran terkait maksud ayat di atas. Mawardi dalam tafsirnya, Al-Nukat wa Al-‘Uyun (jld. 6, hlm. 294), misalnya, menghimpun sembilan tafsiran seputar kata dhāll, bahkan Fakhu Razi dalam tafsirnya (Al-Tafsīr Al-Kabīr, jld. 31 , hlm. 216-218) sudah menghimpun sampai 20 tafsiran terkait kata Arab di ayat ini. Sepertinya tidak berlebihan bila ayat ini satu dari segelintir ayat yang paling berhasil memicu tingginya kreativitas para mufasir dalam menafsirkan Alquran.

Baca Juga :  Tafsir Jihad dan Perang (1): Surah Perang (al-Qitāl)

Dalam bahasa Arab, dhāll (sesat) sendiri berarti: hancur, hilang, lenyap, hilang arah. Dalam Alquran, kata dhāll dan yang seakar kata dengannya digunakan dalam banyak makna, di antaranya:

1. Kehilangan petunjuk dan arah; lawan dari berpetunjuk
2. Salah; lawan dari benar dalam keyakinan dan atau dalam tindakan.
3. Bingung; lawan dari pasti dan jelas.
4. Lengah, lalai dan lupa; lawan dari sadar dan ingat (Raghib Ishfahani, Al-Mufradat).

Baca juga: Telah Terbit: Tafsir Imam Ghazali
Baca juga: Segera Unduh Terjemahan Lengkap 30 Juz Tafsir Ibnu Katsir!
Baca juga: Allamah Thabathaba’i: Pelopor Tafsir Al-Quran Bi Al-Quran
Baca juga: Imam Jalaluddin Al-Suyuthi; Mufasir Konsisten Di Atas Penguasa

Namun, dari sekian banyak tafsiran atas ayat ini, semua mufasir sepakat bahwa kata dhāll di sini tidak bisa diartikan dengan sesat dalam arti: lawan dari “berpetunjuk”. Kesepakatan ini didasari oleh akidah Islam dalam kenabian bahwa Nabi SAW adalah maksum, tidak pernah hidup dalam keadaan kafir dimana tanda dari kekafiran ialah tidak mendapat petunjuk agama (Islam).

Lalu, sesat yang bagaimana sehingga tidak bertentangan dengan berpetunjuk? Bagaimana memaknai Nabi sesat dan, pada saat yang sama, tidak sesat (berada dalam petunjuk Allah)? Berikut penafsiran para mufasir dari yang klasik sampai kontemporer:

A. Nabi Tidak Tahu

Nabi tidak tahu (jāhil) tentang mana yang paling benar di antara keyakinan dan kepercayaan yang ada di tengah masyarakat saat itu. (lihat Wahbah Al-Zuhaili, Al-Tafsīr Al-Munīr, jld. 15, hlm. 672 & 675). Maka makna ayat di atas yaitu:

“Dan Dia mendapatimu sebagai orang yang tidak tahu, lalu Dia memberi pengetahuan.”

Keadaan Nabi tidak tahu itu sebelum diturunkannya wahyu dan menerima Alquran dapat dijumpai, misalnya, di QS. Al-Syura [43]: 52, “Sebelumnya engkau tidaklah tahu apa kitab (Alquran) itu dan apa iman itu, tetapi Kami menjadikannya sebagai cahaya yang, dengannya, Kami memberi petunjuk kepada siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami.” (ibid.).

Baca Juga :  Tadabur: QS. Al-Fatihah [1]: ayat 2 (Bagian Terakhir)

Baca juga: QS. Al-Nur [24]: Ayat 35; Wahdatul Wujud (2): Makhluk Itu Ada Atau Tidak?
Baca juga: Tafsir Surah Al-Ikhlas: Gradasi, Konsekuensi Filosofis Dan Sosial-Politik Memurnikan Asas Tauhid
Baca juga: QS. Al-Anbiya’ [21]: Ayat 105; Masa Depan Dunia Dan Pelaku Sejarah Masyarakat
Baca juga: Masuk Islam Karena Alquran (4): Edoardo Agnelli, Putra Mahkota Bisnis Raksasa Italia

B. Nabi Lengah

Nabi sesat yaitu ia lengah (ghāfil) dan tidak sadar tentang hukum-hukum syariat (Wahbah Al-Zuhaili, Al-Tafsīr Al-Munīr, jld. 15, hlm. 672 & 675). Mufasir abad ke-5, Wahid Naysaburi, dalam tafsirnya menyebutkan tafsiran ini sebagai pendapat kebanyakan mufasir (Al-Tafsir Al-Wasith, jld. 4, hlm. 511). Maka, lawannya sesat dalam arti lengah yaitu ingat dan sadar, sehingga hidayah dalam ayat ini berarti mengingatkan dan menyadarkan.

Kata sesat dalam arti ini juga terdapat dalam QS. Al-baqarah [2]: 282, “agar jika salah satunya sesat (tadhillu) maka seorang lagi mengingatkannya.” Sesat di sini berarti lengah, lalai, lupa (Ibid.; Fakhru Razi, Al-Tafsīr Al-Kabīr, jld. 31, hlm. 218). Maka, maksud ayat di atas yaitu:

“Dan Dia mendapatimu sebagai orang lengah, lalu Kami memberi pengingatan.”

Ini dikuatkan oleh QS. Yusuf [12]: 3, “Kami menceritakan kepadamu (Muhammad) kisah paling indah dengan mewahyukan Alquran ini kepadamu, dan sesungguhnya engkau sebelumnya termasuk orang yang al-ghāfilīn (lalai).” (Thabathaba’i, Tafsir Al-Mizan, jld. 20, hlm. 354). Lalai berarti lengah, lupa dan tidak ingat.

C. Nabi Bingung

Tidak seperti tafsiran (A) dan (B), Nabi tidak tidak tahu juga tidak lengah; ia tahu mana keyakinan yang paling benar, ia juga tahu sepenuhnya hukum apa yang harus ia amalkan dalam hidupnya. Nabi sudah hidup, berkeyakinan dan beramal dengan agama yang hanif. Tetapi pada saat yang sama, Nabi bisa sesat yaitu Nabi bingung melihat kondisi umatnya yang bodoh dalam keyakinan serta buruk dalam perbuatan mereka sehingga ia tidak tahu cara memberi petunjuk kepada mereka sampai turunlah wahyu sebagai petunjuk dan rahmat (Jawad Al-Mughniyah, Al-Tafsīr Al-Kāsyif, jld. 7, hlm. 579).

Baca Juga :  QS. Al-Baqarah [2]: 279, Kaidah Merdeka: tidak Menjajah juga tidak Mau Dijajah

Ketidaktahuan dalam cara dan metode inilah diungkapkan dengan kata dhāll (sesat). Atas dasar ini, makna ayat di atas yaitu demikian:

“Dan Dia mendapatimu orang yang bingung, lalu Dia memberikan kejelasan.”

Baca juga: QS. Maryam [19]: Ayat 96; Syarat Menjadi Manusia Rahmatan Lil Alamin
Baca juga: QS. Al-Anbiya’ [21]: Ayat 105; Masa Depan Dunia Dan Pelaku Sejarah Masyarakat
Baca juga: QS. Al Imran [3]: Ayat 169; Jihad Dan Syahid, Dua Ajaran Unik Dan Istimewa
Baca juga: QS. Al-Mursalat [77]: Ayat 15; Dari Membohongi Diri Sendiri Sampai Membohongi Allah

Tiga penafsiran atas kata sesat (dhāll) dalam ayat di surah Al-Dhuha di atas memiliki kesamaan dalam memaknai kata “mendapati” dan kata/partikel “lalu”. Baca sekali lagi, “Dan Dia mendapatimu orang yang tidak tahu/bingung/lengah, lalu Dia memberikan petunjuk.”

Pertama: Semua sama-sama memaknai “lalu” sebagai kesetelahan temporal dan keberuntunan dalam waktu. Yakni, Nabi pada masa tertentu dari hidupnya berada dalam keadaan tidak tahu/bingung/lengah, kemudian pada masa berikutnya ia diberi petunjuk oleh Allah hingga menjadi tahu.

Kedua: Perbedaan waktu dua keadaan Nabi itu pula menunjukkan perbedaan waktu pada dua keadaan Allah: mendapati Nabi demikian di satu waktu dan tidak mendapati Nabi demikian di waktu lain, yaitu di waktu Dia telah memberi petunjuk kepadanya.

Adakah makna lain untuk kata sesat dalam ayat ini? Dan apakah ada makna lain dari kata “mendapati” dan partikel “lalu” tidak dalam kerangka waktu? Nantikan berikutnya dari penafsiran filosofis Thabathaba’i, penafsiran sufistik Ibnu Arabi, dan Penafsiran dari Mawardi di bagian selanjutnya: Nabi Sesat (2): antara Sesat Filosofis, Sesat Sufi, Sesat-Cinta.[hcf]

Share Page

Close