• LAINYA

[arabic-font]لَقَدْ أَنْزَلْناَ إِلَيْكُمْ كِتاباً فِيهِ ذِكْرُكُمْ أَفَلا تَعْقِلُون[/arabic-font]

Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kalian sebuah kitab yang di dalamnya menyebut kalian. Maka tidakkah kalian berpikir?

(QS. Al-Anbiya’ [21]: 10)

Studi Kebahasaan

  • Ayat ini didahului dengan dua partikel penegasan la dan qad yang menyatakan bahwa persoalannya sungguh penting dan menjadi objek penekanan. Partikel Lām (la) berfungsi li al-qasam (untuk sumpah), digunakan oleh Allah untuk bersumpah karena, bagi lawan bicara (mukhatab), seakan persoalannya sulit untuk dipercaya. Sementara partikel qad disebut sebagai qad li al-tahqīq untuk mengungkapkan pemastian dan penegasan kenyataan.
  • Allah SWT menggunakan frasa anzala ‘alā (menurunkan kepada) ditujukan kepada Rasul-Nya karena Al-Quran diturunkan kepadanya. Kalau penurunan itu dimaksudkan kepada seluruh manusia, frasa ini akan berbeda, menjadi anzala ilā dan menunjukkan bahwa lawan bicara Al-Quran tidak hanya Nabi, tetapi semua Ya, dari satu sisi, semua manusia menjadi lawan bicara Al-Quran dan, dari sisi lain, manusia memiliki banyak keragaman. Karena itu, harus ada titik temu yang fundamental. Dapat diamati sepanjang Al-Quran bahwa titik temu itu adalah fitrah manusia.

Hadis

  • Diriwayatkan oleh Ibn Mardaweih dan Al-Bayhaqi dalam Syu‘ab Al-Iman dari Ibn Abbas tentang ayat, “Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kalian sebuah kitab yang di dalamnya menyebut kalian”, ia berkata, “Yakni, di dalamnya kemuliaan kalian” (Jalaluddin Al-Suyuthi, Al-Durr Al-Mantsūr, jld. 10, hlm. 272). Terkait kalimat yang sama, Ibn Abu Hatim juga meriwayatkan dari Al-Sudiy, ia berkata, “Yakni, di dalamnya menyebutkan apa yang penting bagi kalian, dan urusan akhirat serta dunia kalian” (ibid., jld. 10. hlm. 273).
  • Diriwayatkan oleh Abdulllah bin Al-Mughirah dari Sama’ah bin Mihran, ia berkata, “Imam Ja’far Al-Shadiq berkata, ‘Sesungguhnya Allah SWT Maha Berkuasa dan Maha Perkasa telah menurunkan kepada kalian kitabsuci-Nya. Itulah kitab yang benar dan baik; di dalamnya terdapat berita tentang kalian, orang-orang sebelum kalian dan orang-orang setelah kalian, juga berita tentang langit dan bumi. Seandainya kalian didatangi oleh seseorang yang mengabarkan tentang semua itu, pasti kalian akan tercengang.’” (Ushul, jld. 2, hlm. 599; Kitab Fadhl Al-Qur’an, hadis no. 3).
Baca Juga :  Isyarat Literal Ayat Cahaya: Menggali Wahdatul Wujud dari Terjemah Alquran (4): Makhluk antara Ada dan tidak Ada

Tadabur

  • Syihabuddin Suhrawardi menulis, “Al-Quran harus dibaca dengan sukacita, gairah dan pikiran lembut; sedemikian rupa dibaca seakan ia diturunkan kepadamu. Maka, himpunlah sifat-sifat yang kalian baca dalam dirimu, saat itulah engkau menjadi orang-orang bertakwa” (Syihabuddin Suhrawardi, Majmū‘ah Musannāfat, jld. 4, hlm, 139).
  • Allamah Muhammad Iqbal pernah mengatakan, “Suatu saat ayahku berpesan setiap kali engkau membaca Al-Quran, bacalah seakan Allah menurunkannya kepadamu. Selepas pesan itu, aku mulai mengamalkannya. Hasilnya, aku menemukan diriku jadi sesuatu yang lain; pemahaman dan pandanganku tentang kehidupan berbeda dari sebelumnya.”
  • Seluruh ayat yang mengandung kata ganti orang ketiga plural menunjukkan suatu aspek dari fitrah manusia. Tentu saja, menemukan aspek-aspek fitrah quranik tidak senantiasa jelas dan, untuk itu, diperlukan logika dan penalaran akal sebagaimana telah disinggung di akhir ayat di atas, yakni “tidakkah kalian berpikir?!
  • Muncul dua pertanyaan penting: pertama, kalau kita menjadi lawan bicara Al-Quran, lantas bagaimana kita melihat diri sendiri: apakah kita sudah mendengarkan kata-kata Allah? Pertanyaan kedua, sampai sekarang, seberapa besar upaya kita menjadikan orang-orang selain kita sebagai lawan bicara Al-Quran; apakah sampai sekarang kita sudah menyampaikan firman-firman Allah kepada mereka yang non-muslim; apakah sampai sekarang ini kita sudah menghidangkan Al-Quran kepada masyarakat dengan baik dan tanpa masalah; apakah kita benar-benar menerima bahwa al-Quran ini untuk semua manusia?
  • Dalam ayat terdapat kalimat “di dalamnya menyebut kalian”, yakni dalam Al-Quran ada persoalan-persoalan yang, seluruhnya, terkait dengan manusia dan bercerita tentangnya. Allah SWT senantiasa menyebut manusia dan, karena itu, kita harus menemukan jati diri kita dalam Al-Quran. Inilah maksud ucapan Imam Ja’far Al-Shadiq tersebut di atas. Namun, saking tidak atau kurang peduli terhadapnya sampai-sampai kita tidak dapat menemukan berita-berita dalam Al-Quran yang berkenaan tentang kita. Namun, apabila kelak seseorang, yakni Imam Mahdi, hadir dan menunjukkannya kepada kita, kita akan tercengang dan terheran-heran; tidak mengira bahwa Al-Quran sesungguhnya telah berbicara tentang kita.
  • Oleh karena itu, kini harus kita berupaya menjadikan diri kita sebagai lawan bicara Allah SWT, menjadi objek firman-Nya, dan berusaha menemukan persoalan-persoalan terkait diri kita di dalamnya. Awalnya memang akan terasa sulit, tapi kita akan berhasil melakukannya. Iqbal sendiri, setelah memahami hal ini, sedikit demi sedikit menemukannya hingga dapat mengubah hidupnya.
  • Allah sendiri yang menurunkan Al-Quran kepada kita. Nabi adalah media penyampai kitab agung ini kepada kita. Kandungannya merupakan keterangan mengenai diri kita. Kalau kita membaca Al-Quran namun pemahaman kita tentang diri sendiri dan kehidupan masih juga tidak berubah, pembacaan kita perlu ditinjau ulang: apakah sudah benar kita membaca Al-Quran? Lalu di mana letak kesalahan kita?
  • Ayat di atas ditutup dengan kalimat introgarif atau autokritis “Maka, tidakkah kalian berpikir?!” Kalimat ini telah menjawab pertanyaan kita tadi; di saat membaca Al-Quran, kita tidak berfikir, tidak menggunakan akal, lantas berharap seenaknya. Allah SWT telah menganugerahkan akal kepada kita, namun tidak kita Allah telah memberikan semua pengetahan yang tak terhingga; segala kebutuhan manusia telah termuat dalam Al-Quran, dan kunci masuk ke dalamnya adalah logika akal. Berlogika bukan berkhayal dan berimajinasi. Berlogika bukan menafsirkannya dengan pendapat pribadi dan memaksakan pendapat sendiri ke atas Al-Quran, bukan pula ‘menyuapkan’ pandangan dan kepentingan sendiri atau golongan ke dalam teks-teks ayat suci.
  • Berlogika dan menggunakan akal dimulai dengan mendengarkan, menerima dan menyambut setiap perkataan, memperhatikan serius persoalan, lalu memilah mana yang benar mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk. Seorang muslim akan menjatuhkan pilihan pada kebenaran dan yang terbaik. Dalam firman Allah, “Maka, sampaikanlah berita bahagia kepada hamba-hamba-Ku. Mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti yang terbaik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang berakal-jernih” (QS. Al-Zumar [39]: 16-17). Demikianlah Allah berbicara dengan kita.
  • Siapa pun, tanpa takut, harus memberikan catatan pada diri sendiri dalam bertadabur merenungkan ayat. Sekedar merenungkan apa yang didengar dari firman Allah bukan lantas dikatakan tafsir bi al-ra’yi (dengan pendapat pribadi). Terkadang kita salah memahami ayat. Namun, jika kita tidak fokus melihat diri sendiri dan tidak peduli terhadap diri sendiri, orang lain akan melihat kesalahan kita. Di saat seseorang khawatir menafsirkan ayat bi al-ra’yi, apa pun yang diperoleh dari memahami suatu ayat semestinya dan pada mulanya tidak tergesa-gesa menganggapnya sebagai tafsirnya. Untuk itu, terlebih dahulu harus ditimbang dengan dengan tafsir-tafsir muktabar, lalu menganalisisnya untuk menghasilkan keyakinan dan, dengannya, kita memperoleh hujjah (validitas). Dengan begitu, baru kita memaparkannya. Manakala ditemukan kesalahan di memahami dan menyimpulkan, kita bisa segera menolaknya dan tidak sampai memaksakannya sebagai penafsiran. Yang paling rentan terkena tafsir bi al-ra’yi ialah di wilayah hukum syar’i. Misalnya, QS. Al-Nisa’, ayat 43, disimpulkan bahwa meminum minuman keras diharamkan hanya waktu menjelang shalat! Ini tidak seharusnya terjadi dalam proses tadabur dan merenungkan ayat Al-Quran.
  • Al-Quran turun untuk kita semua. Benar, kita harus merujuk kepada ahli tafsir. Namun, setiap orang, setidaknya, harus memahami persoalan sesuai dengan kadarnya. Yang penting, seseorang harus mengerti seberapa kadar dirinya sehingga tidak ifrath (melampaui batas maksimal), tanpa mengkaji berbagai aspeknya, mengklaim yang lain tidak memiliki bukti, hanya melihat pandangan sendiri tanpa dalil syar’i, dan memaksakan kehendak pribadi, tidak pula tafrith (kurang dari batas minimal) saking takutnya terkena tafsir bi al-ra’yi lantas sama enggan bertadabur dan memahami Al-Quran. Titik keseimbangan itulah shirat mustaqim, lebih kecil dari sehelai rambut. bagaimanapun harus kita melintasinya, tentunya harus dengan penuh kehati-hatian. Jalaluddin Rumi berpuisi: Bukalah diri untuk bertadabbur di depan Kekasih, meski karsamu juga dari pertimbangan bijak-Nya.[ms]

Share Page

Close