• LAINYA

TAFSIR-QURAN.COM–Apa arti alam semesta? Apa fungsi bumi dan langit? Adakah rahasia di balik setiap benda dan fenomena di sekitar kita ini? Bagaimana semestinya kita melihat setiap gejala dan peristiwa? Adakah hubungan cara kita melihat dengan kualitas iman kita pada Allah? Apakah mungkin orang yang membaca teks ayat Alquran tetapi dia juga sesungguhnya buta dan tuli?

[arabic-font]إِنَّ فِي السَّمَاوَاتِ وَ الْأَرْضِ لَآياَتٍ لِلْمُؤْمِنِيْنَ‏[/arabic-font]

“Sesungguhnya di langit-langit dan bumi terdapat tetanda bagi orang-orang beriman.”
(QS. Al-Jatsiyah [45]: 3)

Diriwayatkan oleh Al-Daylami dari Abu Hurairah secara langsung, dia berkata, “Ada seseorang yang sedang terlentang melihat langit dan bintang-bintang, kemudian dia mengatakan, ‘Demi Allah, sungguh aku tahu bahwa engkau (langit dan bintang) memiliki pencipta dan Tuhan. Ya Allah, berilah ampunan kepadaku.’ Lalu Allah melihatnya dan mengampuninya.” (Jalaluddin Al-Suyuthi, Al-Durr Al-Mantsūr, jld. 4, hlm, 184).

Baca juga: Penerjemahan Alquran Dalam Sejarah Penistaan Agama Islam Di Indonesia
Baca juga: Tafsir (1): Etimologi Tafsir
Baca juga: QS. Al-Anbiya’ [21]: Ayat 105; Masa Depan Dunia Dan Pelaku Sejarah Masyarakat
Baca juga: Masuk Islam Karena Alquran (4): Edoardo Agnelli, Putra Mahkota Bisnis Raksasa Italia

[1]
Ayat berarti tanda, yaitu alamat dan petunjuk; mencakup apa saja yang, dengan melihatnya, kesadaran manusia tertuju kepada realitas di baliknya. Maka, segala sesuatu di langit dan di bumi, di luar dan di dalam diri sendiri, adalah tanda yang membuat manusia dapat menjangkau dan menyingkap keberadaan dan kesempurnaan Allah, termasuk maksud, arahan dan peringatan-Nya.

[2]
Ayat (tanda) juga berfungsi sama dengan ibrah. Yakni, orang yang melihat sesuatu yang tampak lalu menjangkau makna, pesan, atau realitas yang terdapat di baliknya disebut juga telah menyeberang, yakni menyeberang dari yang-tampak ke yang-tersembunyi. Adapun sesuatu yang tampak ini disebut ‘ibrah’, yaitu penyeberangan dan jembatan yang menghubungkan pikiran dan hati orang dengan pesan dan realitas di balik yang-tampak itu.

[3]
Ayat dan Ibrah juga tepat dianalogikan dengan cermin. Manusia berakal sehat hanya akan berdiri di depan kaca sebagai cermin dengan tujuan untuk melihat bentuknya dalam kaca tersebut. Jika kaca itu tidak merefleksikan dan menampakkan gambar kita, kaca itu bukan cermin. Atau, kaca itu menampilkan gambar kita, tetapi sendiri melihat kaca sebagai benda pecah dan tidak melihat gambar kita di dalamnya, maka kaca itu juga bukan cermin untuk kita.

Baca juga: Melacak Sejarah Penerjemahan Al-Quran, Bahasa Persia Di Peringkat Pertama
Baca juga: Tokoh-Tokoh Perintis Penerjemahan Alquran
Baca juga: Mufassir Perempuan (2): Banu Mujtahidah Isfahani Dari Persia
Baca juga: Segera Unduh Terjemahan Lengkap 30 Juz Tafsir Ibnu Katsir!

[4]
Sesuatu disebut ayat (tanda) jika minimalnya ada dua hal di dalamnya: yang-tampak sebagai alat/sarana dan yang-batin sebagai sasaran dan maksud di balik yang-tampak. Ayat di atas menyatakan bahwa setiap sesuatu di alam ini ada dimensi lahir (yang-tampak) dan dimensi batin.

[5]
Orang yang berpikir dunia ini hanya materi dan hal-hal yang tampak secara indrawi tentu tidak akan memandang apa yang dilihat dan didengarnya sebagai ayat (tanda) dan ibrah (penyeberangan). Ketika Alquran mengajak kita: “Maka manusia melihatlah kepada makanannya” (QS. Abasa [80]: 24), lalu kita melihat dan mengamati makanan di hadapan kita hanya dalam rangka mencicipi rasanya, mengatasi rasa lapar dan memuaskan nafsu makan, itu artinya kita gagal melihat makanan sebagai ayat dan tanda yang menyeberangkan pikiran dan hati kita memahami nilai penciptaan, pesan dan maksud Allah. Keadaan kita seperti itu menjadi mirip dengan “orang-orang kafir bersenang-senang dan makan seperti makannya hewan ternak” (QS. Muhammad [47]: 12).

Baca Juga :  Tafsir Sekularisme (1): Ayat-ayat Sekuler (1), Tugas Nabi hanya Penyampai Wahyu dan Urusan Akhirat

[6]
Mirip dengan orang materialis adalah orang yang sudah merasa puas beragama hanya dengan membaca Alquran tanpa ada kemauan dan kesungguhan memahami makna serta maksud Allah di balik kata-kata dan kalimat tekstual Alquran. Dia sesungguhnya tidak sedang membaca ayat (tanda) Allah, tetapi hanya membaca lambang-lambang aksara dan tinta di atas lembaran-lembaran yang dicetak dan diterbitkan penerbit, atau hanya mendengar ketukan dan nada-nada suara dari bacaan indah Alquran. Mata dan telinganya tidak menjangkau dan menangkap makna di balik aksara cetakan dan nada suara bacaan Alquran. Dia membaca teks dan mendengarkan bacaan Alquran hanya dengan indra, tanpa menyiapkan pikiran dan hati.

[7]
Segala sesuatu, apa saja, termasuk diri kita ini dan teks aksara Alquran di tangan kita hanya akan berfungsi sebagai ayat (tanda) dan ibrah (penyeberangan) jika kita sendiri, pertama-tama, percaya dengan yang-batin di balik yang-tampak, ada sesuatu di balik hal-hal indrawi. Yang-batin adalah gaib dan tersembunyi dari jangkauan indra kita. Yang-batin dan gaib bisa dijangkau dan diketahui oleh pikiran kemudian diterima oleh hati. Di hati inilah iman tumbuh.


“Maka tidakkah pernah mereka berjalan di bumi sehingga mereka memiliki hati yang dengannya mereka mengerti atau telinga yang dengannya mereka mendengar?! Sesungguhnya bukan mata yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada”
(QS. Al-Hajj [22]: 46).

[8]
Maka, makhluk hidup ataupun benda mati juga teks Alquran menjadi berfungsi sebagai ayat jika kita berdayakan segenap potensi pengetahuan kita, yaitu mengaktifkan indra, lalu mencerna dengan akal pikiran, kemudian diterima menjadi ketetapan iman. Ayat di atas mendorong kita agar mengamati alam semesta untuk memikirkan dan menyadari makna dan nilainya sehingga menambah keimanan kita pada Allah Yang Esa dan Bijaksana. Maka, alam semesta dan diri sendiri hanya berarti dan bernilai sebagai ayat (tanda) Allah bagi orang-orang yang beriman: membuka indra, mendayakan akal pikiran, dan membuka hatinya tulus menerima kebenaran dan petunjuk Allah: “…tanda bagi orang-orang yang beriman.”

Baca juga: Apa Kata Goethe Tentang Alquran?
Baca juga: Kisah Alquran (1): Pernikahan Dramatis Di Balik Pembunuhan Terheboh
Baca juga: QS. Al-Qashash [28]: 77; Ingin Hidup Anda Berubah? Cukup 4 Strategi Ini
Baca juga: QS. Al-Baqarah [2]: 42; Cara Membuat Hoax

[9]
Manusia beriman ialah manusia yang percaya pada Allah. Konsekuensinya, ia juga percaya pada tanda dan penandaan Allah. Maka, segala sesuatu dan kejadian apa pun membawa pesan dan makna bagi orang beriman. Artinya, bagi manusia yang hendak bergerak dan menempuh jalan menuju Allah, benda-benda mati pun menjadi sumber inspirasi, koreksi dan petunjuk.

Baca Juga :  Mengenal Tafsir Sufistik-Filosofis Surat Al-Fatihah, Karya Mulla Sadra (2): Isti’adzah (2): ilmu, Keadaan dan Amal

[10]
Menurut Alquran, manusia yang melihat dan berpikir segala sesuatu di luar fungsinya sebagai ayat dan ibrah adalah manusia buta dan tumpul; kualitasnya sederajat atau bahkan lebih rendah dari hewan ternak (QS. Al-A’raf [7]: 179). “Apakah sama orang buta dan orang melihat atau apakah sama kegelapan-kegelapan dan cahaya?!” (QS. Al-Ra’d [13]: 16)

[11]
Tidak ada benda yang benar-benar mati, gelap, diam dan bisu. Semua adalah cahaya Allah; “Allah adalah cahaya langit-langit dan bumi” (QS. Al-Nur [24]: 35). Setiap makhluk dan benda di alam raya berbicara dan bertasbih kepada Allah (QS. Al-Nur [24]: 41), mereka juga dijadikan Allah berbicara kepada manusia. Mereka juga seperti matahari; memancarkan sinar petunjuk. Tinggal kita, manusia ini, siap ataukah tidak menerima dan menangkap cahaya Allah yang memancar dan berbicara dari segala sesuatu.

[12]
Tidak semua orang dan tidak setiap saat kita menangkap penunjuk dari ciptaan-ciptaan Allah. Itu bukan karena ciptaan itu kekosongan makna, sinar dan petunjuk, tetapi kekurangan ini berasal dari diri kita. Kegagalan diri kita mencerap sinar dan tanda Allah dari setiap fenomena di luar dan di dalam diri adalah karena kekurangan kita menyiapkan diri. Maka, hanya orang-orang tertentu yang bisa menangkap sinar ilahi dari segala sesuatu, yaitu orang-orang beriman pada Allah, Tuhan Pencipta, Pemelihara dan Penguasa Hari Pembalasan (QS. Al-Fatihah [1]: 1-4).


“Orang buta bukanlah orang yang buta matanya, tetapi buta yang sesungguhnya adalah orang yang kehilangan mata hati”
(Nabi SAW).

[13]
“… tanda bagi orang beriman” menjelaskan bahwa, sekalipun manusia bisa mengetahui sesuatu dengan perangkat pengetahuan: indra, akal, dan hati, tetapi pengetahuan dengan perangkat apa pun yang diperoleh dari objek di luar dan di dalam diri harus mengkristal menjadi bagian dari keimanan seseorang (subjek). Pengetahuan dari mengindra, berpikir, merenung, berkomtemplasi hanyalah merupakan syarat perlu yang harus disempurnakan dengan syarat lain hingga menjadi iman, yaitu ketulusan dan ketundukan pada kebenaran. “Dan kepada Allah sajalah bersujud segala apa yang berada di langit dan semua makhluk yang melata di bumi dan para malaikat, sedang mereka tidak sombong” (QS. Al-Nahl [16]: 49).

[14]
Ayat dan tanda Allah di balik segala sesuatu hanya dijangkau oleh orang yang berpengetahuan benar dan berhati tulus, tunduk dan tanpa angkuh. Kalau benar kita percaya pada segala sesuatu sebagai tanda, sumber pesan dan petunjuk Allah SWT, tentu kita tidak akan menyepekan segala sesuatu. Sebaliknya, kita akan menghargai setiap makhluk. “… dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (QS.Al Imran [3]: 191).

[15]
Penghargaan dan penghormatan besar kita akan tertuangkan kepada makhluk mulia Allah, yaitu manusia (QS. Al-Isra’ [17]: 70; QS. Al-Tin [95]: 4). Kita menghormati sesama manusia karena manusia adalah tanda terbesar Allah, bahkan manusia adalah cermin paling sempurna yang menampilkan Tuhan. Sebaliknya, orang yang tidak menghargai orang lain; mengancam, meneror, melancarkan kata-kata kasar dan kotor, mengina dan menuduh tanpa klarifikasi dan tabayun, telah kehilangan satu dari dua syarat utama iman: pengetahuan yang benar (objektivitas) dan atau ketulusan hati (subjektivitas).


Imam Ali bin Abi Thalib ra. berkata, “Segala puji bagi Allah yang tampak bagi makhluk-Nya dengan makhluk-Nya, yang nyata bagi hati-hati mereka dengan bukti-Nya”
(Nahj Al-Balaghah, pidato no. 108)

[16]
Dalam hadis disebutkan, “Mukmin adalah cermin bagi mukmin yang lain.” Orang yang kehilangan iman akan gagal bercermin di hadapan orang mukmin, apalagi selain mukmin, untuk melihat keagungan dan keindahan Allah SWT.

Baca Juga :  Tadabur: QS. Al-Fatihah [1]: ayat 7 (Bagian Pertama)

[17]
Dalam sebuah hadis disebutkan, “Allah menciptakan Adam atas dasar bentuk-Nya.” Ada bentuk maka ada isi (hakikat); bentuk adalah celah menjangkau isi. Dalam hadis lain, Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa melihatku, maka dia melihat Al-Haqq.” Al-Haqq di sini bermakna kebenaran, yakni dia dalam mimpi telah melihat Nabi dengan benar, bukan palsu. Al-Haqq di sini juga bisa berarti Allah dan, tentu saja, melihat tidak dengan mata kepala, tetapi dengan mata hati. Namun hanya hati yang beriman dan tunduk pada Allah itulah yang bisa menyaksikan keagungan dan keindahan-Nya.

[18]
Allah SWT menamai seluruh mukjizat para nabi dengan ayat ‘tanda’. Demikian pula Dia menyebut semua makhluk juga sebagai ayat. Mukjizat adalah ayat dan tanda, yakni tanda jelas atas hubungan nyata nabi dengan Allah SWT. Semua makhluk dan fenomena juga merupakan ayat dan mukjizat. Namun, terkait khusus dengan mukjizat, karena luar biasa,fokus kita semakin kuat dan tajam menyorotinya sebagai tanda. Tetapi, di mata orang beriman, semua makhluk dan kejadian adalah mukjizat Allah.

[19]
Mukjizat terbesar dan abadi Nabi SAW adalah Alquran. Maka, kitab suci terakhir ini juga tanda terbesar dan abadi. Alquran menampilkan Allah SWT atau, dengan kata lain, Allah menampilkan Diri-Nya dalam kitab-Nya. Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra. berkata, “Sesungguhnya Allah benar-benar telah menampakkan Diri kepada makhluk-Nya dalam kalam-Nya, hanya mereka itu tidak melihat” (Nahj Al-Balaghah, pidato no. 147). Mata yang tidak melihat adalah mata buta, dan kebutaan yang paling pedih bukan buta mata kepala, tetapi mata hati.

[20]
Imam Ali bin Abi Thalib ra. dalam pidato yang terkenal dengan nama khuthbat al-asybāh (pidato bayangan), mengatakan, “Dialah yang menciptakan makhluk tanpa contoh yang ditirunya juga tanpa pola yang Dia ikuti dari pencipta yang disembah sebelum-Nya. Dia memperlihatkan kepada kita kekuasaan malakut-Nya dan keajiban-keajaiban yang diungkapkan oleh kesan-kesan kebijaksanaan-Nya dan pengakuan makhluk akan kebutuhannya kepada-Nya untuk Dia menegakkannya dengan kedahsyatan kekuatan-Nya. Ini, dengan keniscayaan adanya bukti bagi-Nya, menunjukkan kita untuk mengenal-Nya. Maka, dari ciptaan-ciptaan yang Dia wujudkan tampaklah kesan-kesan tindakannya dan lambing-lambang kebijaksanaan-Nya sehingga segala sesuatu yang Dia ciptakan menjadi bukti bagi-Nya dan petunjuk kepada-Nya, sekalipun ciptaan itu diam. Maka, kebuktiannya berbicara dengan pengelolaan dan argumennya tegak [membuktikan] Sang Pencipta” (Nahj Al-Balāghah, pidato no. 90).

Share Page

Close