• LAINYA

 [arabic-font]فَإِذاَ قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطاَنِ الرَّجِيْمِ‏[/arabic-font]

Maka, jika kamu membaca Al-Quran, mintalah perlindungan kepada Allah dari setan yang terusir.”

(QS. Al-Nahl [16]: 98)

Tadabur

  • Jika kamu membaca Al-Quran, mintalah perlindungan kepada Allah.” Seseorang yang berada dalam rangka bermaksiat sudah sepatutnya diperintahkan Allah SWT agar berlindung kepada-Nya (QS. Al-A’raf [7]: 200). Akan tetapi, kenapa perintah seperti ini datang ketika membaca Al-Quran? Mengapa dalam beribadah dan berbuat baik pun kita diperintahkan agar meminta perlindungan kepada Allah? Ya, karena setan justru mengintai dan menanti kesempatan di sepanjang jalan yang lurus (QS. Al-A’raf [7]: 16), bukan di jalan kesesatan dan maksiat. Tatkala seseorang sudah berada dalam maksiat, setan sesungguhnya telah mencapai targetnya dan dia cukup membiarkannya. Setan akan membidik target dan mengerahkan usahanya pada orang yang bergerak di jalan kebaikan dan ketaatan kepada Allah SWT.
  • Dari sini kiranya dapat diletakkan sebuah rumusan penting dalam menganalisis keberagamaan dan masyarakat religius, yaitu semakin kita maju bergerak dan mendekati titik kesempurnaan beragama dan bertauhid, setan semakin serius menggoda. Dia hanya tidak kuasa mempengaruhi orang-orang mukhlas ‘yang diikhlaskan Allah’, yakni manusia-manusia maksum sebagaimana dijelaskan dalam ayat setelahnya (QS. Al-Nahl [16]: 99). Sudah barang tentu, perlawanan terhadap setan dan perlindungan diri seseorang yang hidup di masyarakat yang hendak dan tengah bergerak di jalan agama Allah akan lebih krusial dan perlu lebih kokoh lagi dibandingkan orang yang hidup di lingkungan yang kurang religius.
  • Jadi, pertama, tingkat keberagamaan dan komitmen seseorang dalam keimanan dan pengamalan agama akan menentukan tantangan yang ia hadapi dari setan dan ujian. Kedua, berbuat baik dan taat beragama menjadi lebih susah di tengah masyarakat dan lingkungan religius. Pada kesimpulannya, indikator utama keberagamaan dan ketakberagamaan suatu masyarakat terletak pada neraca pertumbuhan yang dicapai individu-individu dalam ketahanan diri melawan setan dan ketangguhan menghadapi cobaan. Indokator ini bukan hanya pada tingkat keguguran dan kegagalan komponen masyarakat, tetapi juga pada grafik peningkatan dan keberhasilannnya.
  • “…. mintalah perlindungan kepada Allah.” Kalimat Qul a‘ūdzu yakni aku berlindung, sementara ista‘idz yaitu mintalah perlindungan, yakni berusahalah mendapatkan perlindungan. Ada beda makna antara dua ungkapan ini: yang pertama merupakan premis dan pendahuluan untuk yang kedua, sementara yang kedua merupakan keadaan internal seseorang yang harus dijaga selama membaca Al-Quran dan sepanjang berbuat baik (Thabathaba’i, Tafsīr Al-Mīzān, jld. 12, hlm. 343). Artinya, tatkala kita hendak membaca dan bertindak, kita semestinya berusaha setiap saat tetap berada dalam lindungan Allah SWT agar kita memperoleh kesadaran dari tilawah dan mencapai tujuan dari tindakan baik kita. Barangkali salah satu faktor kurangnya beroleh manfaat dan kebaikan dari Al-Quran ialah kita hanya berhenti di membaca dan mengamalkan Qul a‘ūdzu, tidak sampai mengamalkan perintah ista‘idz, yakni kita hanya berlindung kepada Allah SWT di awal membaca, tetapi tidak lagi tabah dan konsisten untuk tetap bertahan dalam lindungan Allah.
  • Dalam tafsir Al-Tasnīm disebutkan, “Manakala kita diberi peringatan akan suatu bahaya dan diinstruksikan agar mencari tempat perlindungan, tidaklah cukup hanya mengatakan, ‘aku berlindung ke tempat aman’. Perkataan ini tidak akan mengubah keadaan dan menyelesaikan masalah. Tetapi kita harus bangkit dan bergerak menuju tempat itu dan menetap di sana” (Jawadi Amuli, Al-Tasnīm, jld. 3, hlm. 400).
  • “ …. mintalah perlindungan kepada Allah dari setan.” Kenapa tidak berhenti di Allah, tetapi dilanjutkan dengan “dari setan”? Kenapa perintah dalam ayat ini juga menekankan sesuatu yang darinya kita harus berlindung dan mengamankan diri? Tampaknya, Allah SWT mengingatkan kita agar tidak meremehkan setan, khususnya dalam membaca Al-Quran. Kita mudah lengah dan begitu saja lupa bahwa ada musuh bernama setan yang setiap saat dan tempat, terutama dalam niat dan upaya berbuat baik, mengintai dan mentarget kita. Peringatan terus menerus akan adanya musuh merupakan keniscayaan dan penting bagi orang yang punya musuh.
  • “…. dari setan yang terusir.” Kenapa di sini tidak disebutkan setan saja, tetapi juga dilanjutkan dengan atribut “yang terusir”? Apakah memang ada setan yang tak terusir? Barangkali ini mengingatkan kita bahwa setan itu terusir dari rahmat dan kedekatan dengan Allah SWT, tetapi dia tidak terusir dari sekitar kita. Sekalipun sudah terusir, setan masih bisa memperdaya kita hingga kita berada dalam kekuasaannya. Ini sebagaimana dikemukakan dalam dua ayat setelah ayat ini.
  • Keterusiran setan akan berdampak positif bagi kita manakala kita juga berada di tempat dimana dia terusir darinya, yakni dejarat dekat dengan Allah SWT. Maka, tempat perlindungan dan keamanan yang kita minta dari Allah adalah kedekatan dengan-Nya.
  • Dalam ayat tidak disebutkan, “beradalah dalam perlindungan Allah”, tetapi kita dipeintahkan agar meminta, mencari dan berusaha memperoleh perlindungan Allah SWTdalam membaca Al-Quran, yakni berusaha bersama Al-Quran untuk mencapai kedekatan diri dengan Allah SWT.
  • Perintah dalam ayat ini ditujukan langsung kepada Nabi SAW. Ini artinya manusia sekualitas Nabi SAW, sosok yang suci dan disucikan Allah SWT, juga masih harus berlindung kepada-Nya dari tipu daya setan, padahal beliau seperti dinyatakan oleh Al-Quran sendiri: tak tersentuh oleh setan. Meski demikian, beliau tetap tidak menganggap dirinya berada dalam keamanan dari tipu daya setan. Dalam hal seringan membaca Al-Quran pun beliau masih senantiasa meminta perlindungan Allah SWT. Jika Nabi saja diperintahkan demikian, apalagi kita sebagai umatnya yang tidak terjamin tak tersentuh setan, sudah lebih pantas lagi untuk lebih meminta perlindungan dari Allah SWT.[ab]

Share Page

Close