• LAINYA

Muhammad Baqir al-Shadr – Sudah sejak lama studi hukum Islam, yakni fiqih, lazim didisiplinkan menurut topik-topik. Tetapi dalam studi tafsir Al-Quran, para mufassir mengikuti metode parsial dan menjelaskan Al-Quran secara ayat demi ayat dari awal sampai akhir surah. Kami tidak bermaksud mengatakan karena metode tematik telah menjadi tradisi dalam ilmu fiqh, maka tak ada lagi kebutuhan untuk melakukan penyelidikan serta kajian tematik lebih jauh di bidang ini. Studi fiqh juga tetap harus dikembangluaskan.

Pola Tematik dalam Studi Hukum

Mengenai studi tematik, kita memerlukan penelitian baru, baik secara horizontal maupun vertikal, sebab metode tematik bertolak dari realitas kehidupan, dan berujung pada aturan-aturan hukum Islam. Telah menjadi praktik para ulama dan ahli fiqh menyoroti duduk masalah dari realitas kehidupan sehari-hari, dan membawanya ke dalam laboratorium hukum Islam. Transaksi seperti penawaran, persetujuan, perseroan terbatas, bagi hasil dalam pertanian atau perkebunan, telah mendorong para ahli hukum untuk menurunkan aturan-aturan mengenai urusan-urusan seperti itu dari sumber-sumber hukum Islam, dan mengemukakan ketentuan-ketentuan hukum dari sudut pandang Ilahi.
Kenyataannya, harus diakui bahwa metode tematik dalam ilmu fiqh juga membutuhkan pengembangan. Sepanjang masa berabad-abad, para ulama secara kontinyu melakukan penelitian berdasarkan metode tematik, dan telah menurunkan aturan-aturan hukum mengenai setiap kebutuhan hidup manusia. Namun dengan berlalunya waktu dan semakin rumitnya peradaban manusia, dimensi-dimensi baru telah ditambahkan dalam kehidupan manusia. Karenanya, sejalan dengan berkembangnya kebutuhan hidup, dirasa perlu penyelidikan hukum secara tematik juga dikembangkan.
Meskipun penyelidikan mengenai aturan-aturan hukum bermula dengan realitas-realitas konkret, namun sebagian besar penyelidikan tersebut terbatas pada realitas-realitas pada masa hidup Syaikh al-Thusi atau Muhaqqiq al-Hilli. Sedangkan realitas-realitas pada masa hidup mereka itu hanya bisa memenuhi kebutuhan zaman mereka saja, tidak zaman kita sekarang ini. Sebagai contoh, transaksi-transaksi seperti sewa-menyewa, bagi hasil dan berserikat seperti yang disebutkan dalam kitab-kitab mereka, menggambarkan kondisi pasar pada masa delapan atau sepuluh abad yang lalu, sedangkan kondisi-kondisi pasar dan sifat transaksi-transaksi di masa kini telah berubah, dan hubungan-hubungan ekonomi telah menjadi semakin rumit.
Karena itu, fiqih masa kini harus mengikuti alur yang sama dengan yang ditempuhnya di masa para ulama zaman dahulu, ketika ia menunjukkan reaksi kepada setiap kejadiaan dan kondisi kehidupan. Karena aturan-aturan yang berkaitan dengan setiap situasi yang ada pada masa itu diturunkan dari agama, para ulama di masa kini juga harus mengkaji masalah-masalah secara tematik dan menurunkan aturan-aturan mengenainya dari prinsip-prinsip umum Islam agar fiqh bisa berkembang secara horizontal hingga tingkat yang diperlukan.
Secara vertikal, metode tematik yang sama dalam ilmu fiqh juga harus dikembangkan agar penelitian hukum fiqh bisa berkembang dengan efektif. Dengan kata lain, penting sekali masalah-masalah hukum dikaji secara mendalam dan vertikal, dan prinsip-prinsip dasar hukum digali. Hukum-hukum yang terinci harus dirancang hingga mencerminkan sudut pandangan Islam, sebab setiap perangkat hukum Islam menyangkut setiap bidang kehidupan berkaitan dengan prinsip-prinsip dasar yang menjamin perkembangan manusia di lingkup pembuatan hukum Islam. Prinsip ini tercermin jelas dalam ekonomi Islam dan hukum-hukum Islam mengenai perkawinan dan perceraian.
Sebagai contoh, hukum Islam mengenai perkawinan dan hubungan keluarga. Hukum ini berkaitan dengan peran laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sebagaimana yang ditetapkan Islam. Pandangan Islam dalam hal ini merupakan landasan. Di atas landasan inilah seluruh struktur hukum yang berkaitan dibangun. Adalah keliru menganggap hukum Islam merupakan elemen-elemen aturan yang inkoheren. Aturan-aturan tersebut bukan sekadar bunga-bunga sastra. Mereka harus dipandang sebagai kebutuhan alamiah. Sepanjang hal itu harus dilakukan upaya untuk mengungkap gagasan serta alasan yang mendasarinya.

Baca Juga :  Isu Kalam Baru/New Theology (1): Status Akal, antara Sumber dan Sarana

Nilai Penting Pola Tematik dalam Tafsir

Sebelum ini telah dikemukakan beberapa alasan mengapa tafsir tematik lebih krusial daripada tafsir parsial. Lingkup tafsir tematik lebih luas dan lebih berkembang. Ia lebih maju daripada tafsir parsial. Ia bisa terus-menerus menciptakan kemajuan dan membuat temuan-temuan baru, sebab jenis tafsir ini didasarkan pada pengalaman manusia dan, sejalan dengan majunya pengalaman manusia, ia pun menjadi semakin berkembang.
Dalam tafsir tematik, keakuratan data yang disediakan oleh pengalaman manusia dikonfirmasikan kepada Al-Quran. Itulah satu- satunya cara yang memungkinkan kita menemukan pandangan-pandangan dasar Al-Quran dan Islam berkenaan dengan berbagai masalah kehidupan.
Orang mungkin mengatakan, apa perlunya menggali pandangan-pandangan dasar Islam? Misalnya, apa perlunya mengetahui teori Islam tentang kenabian? Apakah ada kebutuhan untuk mengetahui apa yang dikatakan Al-Quran mengenai kecenderungan sejarah? Atau, mengapa kita harus menafsirkan perubahan dan transformasi sosial dalam perspektif Al-Quran? Mengapa kita harus mengetahui hukum Islam tentang ekonomi?
Apakah ada alasan mengapa kita harus mengetahui apa yang dimaksud oleh Al-Quran dengan kata ‘langit’ dan ‘bumi’? Apa perlunya mengetahui makna penting kata-kata ini dan menurunkan teori-teori yang berkaitan dengannya? Kita tahu bahwa Nabi sendiri tidak mengemukakan teori apa pun mengenai hal-hal seperti itu. Beliau hanya menyuguhkan Al-Quran kepada kaum Muslimin dalam bentuknya seperti sekarang ini. Lantas, mengapa kita harus mencari-cari kesukaran dengan menurunkan teori-teori tersendiri?
Sebenarnya, kita merasakan desakan mendasar untuk menemukan teori-teori ini dan tak bisa mengabaikan kebutuhan ini begitu saja.
Nabi saw. menjelaskan teori-teori ini dalam konteks Al-Quran dengan cara yang sesuai dengan lingkungannya di masa itu. Beliau menerapkan teori-teori itu secara keseluruhan dalam kehidupan Islam. Sekarang, adalah tugas setiap Muslim untuk menemukan kembali teori-teori ini di dalam kerangka ideologis masa itu. Kerangka tersebut bersifat alamiah, meskipun ia mungkin sedikit konvensional. Hanya kerangka spiritual, sosial, intelektual dan instruksional yang diberikan oleh Nabi saw. sajalah yang bisa menyampaikan kepada kita gagasan-gagasan beliau dalam bentuknya yang sempurna. Hanya itu sajalah yang bisa menilai setiap situasi dan setiap kejadian di setiap masa dan bisa menerapkan apa yang dikatakannya pada semua situasi.
Jika kita membandingkan antara dua situasi yang umum seperti contoh di bawah ini, maka gagasan ini akan bisa dipahami dengan lebih baik:
Misalkan seseorang hidup di kalangan suatu bangsa yang berbicara dalam bahasa tertentu. Dia ingin mempelajari bahasa mereka, mengetahui bagaimana pikiran mereka menggapai dari satu kata kepada artinya, dan bagaimana mereka memahami arti persisnya sebuah kata. Nah, ada dua cara untuk melakukan hal ini. Cara pertama adalah dia harus bergaul dengan bangsa tersebut dan berperan serta sepenuhnya dalam kegiatan-kegiatan mereka. Jika dia melakukan hal itu selama beberapa waktu, dia akan menjadi akrab dengan penggunaan yang benar dari bahasa mereka dan, sebagai akibatnya, pikirannya akan mulai bergerak dari kata-kata kepada arti-artinya sebagaimana yang dituntut oleh bahasa tersebut dan penggunaannya. Selagi orang itu hidup di tengah-tengah mereka yang menggunakan bahasa tersebut sebagai bahasa sehari-harinya, maka suatu endapan tersembunyi makna-makna akan segera tersimpan dalam pikirannya. Manakala sebuah kata dituturkan, dia akan merujuk kepada endapan tersebut dan memahami arti kata itu dengan benar. Hasil dari kontaknya dengan orang-orang yang menggunakan bahasa tersebut sebagai bahasa sehari-harinya, dia akan memperoleh tilikan tajam mengenai bahasa tersebut seperti halnya mereka.

Baca Juga :  Al-Quran, Filsafat Ijtihad dan Pemahaman Kontekstual (Bagian Terakhir)

Sebaliknya dari cara ini, seseorang yang tidak hidup di tengah-tengah bangsa yang menggunakan bahasa tersebut sebagai bahasa sehari-hari mereka namun ingin menguasai bahasa tersebut dengan fasih, maka dia tidak mempunyai pilihan selain mempeIajari tata bahasa dan komposisinya. Dia harus memperoleh kemampuan merumuskan aturan-aturan umumnya. Ambillah misalnya, bahasa Arab.

Pada awalnya, orang-orang Arab tak perlu melakukan upaya apa pun untuk mempelajarinya, sebab mereka hidup di masyarakat yang hampir semuanya terdiri dari orang Arab. Tetapi lama kelamaan, ketika lingkungan mereka berubah dan dengan masuknya bahasa-bahasa lain ke dalam kehidupan mereka, sehingga bahasa mereka menjadi lemah dan bercampur dengan sejumlah besar kata-kata asing, maka dirasakan kebutuhan untuk mengembangkan rata bahasa Arab dan teori-teori filologinya.

Karena lingkungan tidak lagi menunjang upaya untuk mempelajari bahasa Arab yang benar, maka menjadi perlulah untuk mempelajarinya secara ilmiah. Teori-teori pun dibentuk untuk dipertimbangkan, dibahas, dan di kritik, agar bahasa Arab bisa dibentuk menurut aturan-aturan ilmiah dan teori-teori baru. Ini hanyalah contoh kasar untuk menjelaskan pokok persoalan kita.
Para sahabat yang hidup bersama-sama dengan Nabi saw. mungkin sekali tidak memahami pandangan-pandangan beliau sebagai prinsip-prinsip umum, tetapi pasti mereka secara keseluruhan menyerap gagasan-gagasan beliau dan secara mental terkesan oleh gagasan-gagasan tersebut.
Kondisi umum kerangka sosial spiritual,dan mental di mana mereka hidup sangat menunjang pemahaman terhadap ajaran-ajaran Nabi saw. dan dalam menciptakan tolok ukur yang akurat bagi tujuan penilaian segala sesuatu. Tetapi iklim yang menunjang scperti itu, tidak ada di zaman sekarang ini. Pada masa di mana dirasakan kebutuhan untuk mengkaji pandangan-pandangan Al-Quran mengenai ilmu pengetahuan Islam, bagaimana mungkin teori-teori umum dan universal dalam hal ini, diabaikan?
Selama terjadinya kontak antar dunia Islam dengan dunia Barat, pengungkapan-pengungkapan banyak dilakukan terhadap berbagai teori dan sudut pandang. Meskipun kaum Muslimin mempunyai khazanah sumber daya intelektual yang sangat kaya dan sumber ilmu pengetahuan yang melimpah dan beragam dalam semua cabang ilmu pengetahuan manusia, namun ketika terjadi kontak antara seorang Muslim dengan seorang Barat, Muslim menemukan dirinya berhadapan dengan begitu banyak teori yang telah muncul dalam berbagai lapangan kehidupan. Karena itu, adalah kewajiban kaum Muslimin untuk mengetahui pandangan Islam vis a vis teori-teori lain. Untuk tujuan ini, mereka tak punya pilihan lain kecuali menggali sedalam-dalamnya teks-teks Islam, dan menemukan posisi Islam agar mampu memahami bagaimana Islam telah menyelesaikan masalah-masalah khusus dengan cara yang sepadan dengan pengalaman manusia di berbagai bidang kehidupan.

Baca Juga :  Radikalisme Positif dalam Beragama: Menjadi Tuhan itu Kewajiban juga Cita-cita

Kontribusi Silang antara Tafsir Tematik dengan Tafsir Parsial

Dalam hal ini kita telah sampai kepada kesimpulan bahwa metode tematik adalah metode tafsir yang paling baik. Tetapi itu tidak berarti bahwa kita sama sekali menganjurkan unmk rneninggalkan tafsir parsial. Sebab keunggulan satu metode tidak berarti kita harus meninggalkan atau menindas metode yang lain. Ia hanya berarti bahwa lebih banyak perhatian harus diberikan kepada metode yang lebih baik, sebab tafsir tematik adalah satu langkah ke depan dari tafsir parsial. Karena tafsir parsial adalah landasan yang di atasnya tafsir tematik dibangun, maka tidak ada masalah yang timbul karena penggeseran posisi di sini. Apa yang kami maksudkan hanyalah, bahwa bisa jadi kita bukan saja harus mengambil satu langkah, tetapi dua langkah: pertama, tafsir parsial dan kedua, yang lebih maju yaitu tafsir tematik.

Share Page

Close