• LAINYA

TAFSIR-FALSAFI–Bagian ini terdiri dari ayat-ayat yang mengungkapkan penampakan (bukan kausalitas) pemeragu Mahanyata di alam. Alam semesta memiliki, setidaknya, dua jenis penandaan (dalālah) dalam hubungannya dengan Tuhan Mahanyata. Pada penandaan pertama, alam adalah akibat Mahanyata dan, pada penandaan kedua, alam merupakan cermin Mahanyata.

Dengan kata lain, ada perbedaan antara penandaan suatu ciptaan atas penciptanya dan penandaan suatu gambar atas pemiliknya, karena penandaan ciptaan atas pencipta disertai dengan proses penalaran tertentu dan, sesuai tingkat kesadaran dan keahlian seorang pengamat, ciptaan bisa menandai (menunjukkan) berbagai aspek pencipta, tak ubahnya dengan buku yang menunjukkan pengetahuan dan keahlian penulisnya. Akan halnya gambar di cermin atau di foto, terlepas dari penalaran apa pun, menunjukkan pemilik gambar.

Penandaan Tuhan oleh alam juga adakalanya melalui argumen rasional dan empiris seperti: Argumen Keteraturan (burhān al-nadzm), Argumen Kausalitas (burhān al-‘illiyyah), Argumen Gerak (burhān al-harakah), dan argumen lainnya. Karena melalui penalaran rasional eksplisit maupun implisit, penandaan dan penunjukan ini berada dalam wilayah pengetahuan pelajaran atau pengetahuan kehasilan (‘ilm hushūlī). Namun, penandaan Tuhan oleh alam adakalanya dalam bentuk cermin [Yuhan] Mahanyata yang identik dengan penampakan dan tampil-Nya. Penandaan ini berlangsung dalam wilayah pengetahuan saksian (‘ilm syuhūdī).[1]

Tampaknya, ada semacam perbedaan hierarkis (kederajatan) antara ayat-ayat yang menekankan hubungan kausal antara Tuhan dan alam[2] dan ayat-ayat yang menekankan[3] hubungan kepenampakan antara mereka.[4] Perbedaan hierarkis ini berasal dari perbedaan dalam tingkat peniadaan keterasingan (keselainan) dan dualitas Tuhan dan alam, karena ayat-ayat mengenai hubungan kepenampakan menegasi keterasingan atau dualitas tersebut antara Tuhan dan alam. Konsekuensinya, pemisahan alam (makhluk) dari Tuhan tak ubahnya dengan perbedaan atribut dari subjeknya. Dalam kata-kata Mulla Sadra, perbedaan mereka adalah perbedaan deskripsial (baynūnat washfiyyah).

Namun, ayat-ayat Alquran yang menekankan hubungan kausal alam dan Tuhan justru menempatkannya sebagai akibat di hadapan sebab. Tentu saja, keterasingan dan dualitas antara sebab dan akibat ini masih belum sama dengan perbedaan keadaan dan tampakan Realitas Esa.

Kelompok ayat Alquran yang menunjukkan kebergantungan adaan-adaan (makhluk) pada Tuhan ini, setidaknya, mengandung empat macam penandaan atas hubungan alam (adaan-adaan) dengan Tuhan.

a. Penandaan Kosmologis atas Tauhid

Tinjauan terhadap penandaan kosmologis atas ada Mahanyata Yang Mahatinggi ini tidak terbatas pada pemikiran Islam. Banyak studi kosmologi filosofis dan keagamaan yang berpijak pada Argumen Keteraturan, Argumen Gerak dan Argumen Kausalitas, menyoroti dan menguraikan penandaan ini.

Meski demikian, ke-ayat-an dan ke-tanda-an alam dalam Alquran memiliki nilai istimewa sejauh kaitannya dengan keidentikan realitas alam dengan status kecerminannya. Dengan kata lain, adanya keteraturan atau gerak di alam bahan/materi atau adanya struktur yang unik dengan ciri-ciri khas pada adaan-adaan, sebagaimana penandaan-penandaan alami[5] atas semua dan di manapun, merupakan keberadaan Pencipta Yang Mahatahu, Mahakuasa, dan Pencipta yang Mahabaik. Namun, ke-tanda-an adaan-adaan bagi Tuhan adalah esensi identitas dan Ada mereka itu sendiri. Oleh karena itu, perspektif kecerminan Alquran berbeda dengan perspektif dalam teologi filosofis.

Baca Juga :  Immanuel Kant dan Misteri Tulisan Bismillah di Halaman Judul Disertasinya

Ketandaan sesuatu memiliki beberapa bentuk: (a) sebagai sifat temporal yang dapat terpisah dari sesuatu atau disebut juga dengan istilah deskripsi separatis (washf mufāriq) seperti: ketandaan panas bagi air panas, (b) sebagai sifat niscaya pada sesuatu atau dikenal juga dengan istilah deskripsi niscaya (washf lāzim) seperti: ketandaan genap bagi bilangan dua, (c) sebagai bagian dari esensi sesuatu seperti: ketandaan jenis kelamin bagi perempuan, (d) sebagai keseluruhan identitas dan Ada sesuatu seperti: ketandaan alam semesta bagi Tuhan.

Setiap adaan bukanlah pemilik (sesuatu yang memiliki) relasi dengan Mahanyata, tetapi Ada mereka bahkan tidak terlepas sama sekali dari Tuhan. Mereka identik dengan relasi dan hubungan itu sendiri; mereka hanyalah ayat ‘tanda’ Tuhan. Di luar ketandaannya, mereka tidak memiliki identitas (realitas) apa pun.

Atas dasar itu, dikatakan bahwa ketandaan adaan-adaan (alam) bukanlah deskripsi niscaya ataupun deskripsi separatis, tetapi seutuh esensi dan realitas mereka. Artinya, status ketandaan alam bagi Tuhan Mahanyata bukanlah deskripsi dan sifat pada alam atau aksiden yang berlaku pada esensi alam dan bisa terpisah darinya, karena tidak hanya deskripsi separatis yang terpisah, tetapi juga deskripsi niscaya pada akhirnya terpisah dari esensi adaan (makhluk). Jadi, ketandaan adaan-adaan di alam semesta tidak lain hanyalah esensi dan keutuhan esensi mereka itu sendiri. Karena, jika suatu adaan di alam ini, selain statusnya sebagai tanda (ayat), juga memiliki aspek lain dalam esensinya, maka ia dari aspek lain ini bukanlah tanda Mahanyata, malah aspek lain ini membatasi Mahanyata, sedangkan Mahanyata adalah Realitas yang-Niscaya Ada dari seluruh aspek (wājib al-wujūd min jamī‘ al-jihāt). Dia tidak terbatas dan kaya, meliputi dalam dan luar segala sesuatu sehingga tidak menyisakan medan realitas dan Ada bagi selain-Nya. Maka, tidak ada status apa pun bagi “selain Dia” kecuali semata-mata ayat dan tanda Dia yang Mahasuci.[6]

Telah dicatat sebelumnya, Kebijaksanaan Luhur mengemukakan suatu penjelasan atas alam realitas yang lebih koheren dengan prinsip Tauhid. Teori Kesatuan Individual Ada (wahdat syakhshiyyah wujūd) lebih seutuh dengan ayat-ayat Alquran dalam mendudukkan hubungan antara Tuhan dan alam. Dalam karya tafsirnya, Mulla Sadra memaparkan penjelasan lebih lanjut tentang kosmologi. Juga mirip dengan banyak sufi, dia memahami ayat, “Allah adalah Cahaya lelangit dan bumi” (QS. Al-Nur [24]: 35) sebagai keterangan paling fundamental mengenai penampakan dan penampilan Mahanyata di alam semesta. Dalam tafsirnya atas ayat ini, ia membuktikan penampakan Mahanyata pada adaan-adaan alam. Meskipun tafsir semacam ini atas ayat itu dapat dijumpai dalam karya-karya sebelumnya, Mulla Sadra menempatkan konsep cahaya dan konsep Ada itu secara unik. Ia menganggap cahaya dan Ada sebagai identik. Pada hematnya, cahaya dan Ada adalah realitas yang satu yang hanya berbeda dalam konsep dan persepsi. Dengan cara yang sama ia secara konsisten menafsirkan kegelapan dan tiada.[7]

Baca Juga :  Alquran di Balik Keunikan Sikap Ghazali: Logika Wajib, Filosof Kafir

Upaya Mulla Sadra merujuk Alquran sebagai penjelasan ontologis Kebijaksanaan Luhur dan ulang-aliknya seputar studi-studi filosofis dalam menafsirkan ayat-ayatnya telah menciptakan keraguan bagi pembaca karya tafsir dan filosofisnya: apakah tafsir itu, bagi Mulla Sadra, lebih utama di atas argumen [filosofis] dalam merumuskan dan menjelaskan teori-teori ontologis?

Dengan kata lain, apakah teori-teori Kesatuan Pemeragu dan Kesatuan Individual Ada dalam Kebijaksanaan Luhur merupakan inspirasi yang diperoleh Mulla Sadra dari membaca Alquran kemudian mengemasnya dengan argumen-argumen filosofis atau, pada dasarnya, merupakan gagasan-gagasan filosofis yang, setelah mendapat pengayaan yang cukup dari argumen-argumen rasional lantas diperkuat dengan bukti-bukti Alquran.

Betapapun, teori Kepemeraguan Ada lebih menonjolkan koherensi dan keseutuhannya dengan ayat-ayat Alquran yang menyatakan hubungan kausalitas antara Tuhan dan alam, karena dalam teori ini, kuiditas merupakan batasan dan ketertentuan realitas Ada dalam berbagai derajatnya. Namun berdasarkan teori Keasatuan Individual Ada, adaan-adaan hanyalah lokatampak dan tampilan Ada. Mereka bukanlah ketertentuan Ada (baca: bukanlah adaan-adaan—peny.), tetapi tanda-tanda Ada. Tentu saja perlu diingat dalam kedua teori ini, hubungan adaan-adaan dengan realitas Ada adalah relasi pencerahan, bukan relasi kuiditatif atau aksidental.[8]

Jika kriteria kefakiran dan kebutuhan adaan-adaan kepada Yang-Niscaya-Ada itu adalah kemungkinan adawi (imkān wujūdī), maka adaan-adaan yang tak lain hanyalah relasi dan kebergantungan itu sendiri pada Penjadi (jā‘il) tidak akan memiliki penampakan dan penampilan apa pun tanpa bertumpu pada Penjadi (Yang-Niscaya-Ada). Dari sinilah Mulla Sadra membawakan ayat, “Allah bersaksi bahwa tidak ada tuhan kecuali Dia, [demikian pula] para malaikat dan mereka berilmu– yang menegakkan keadilan, tidak ada tuhan selain Dia Yang Mahak Perkasa Maha Bijaksana” (QS. Al Imran [3]: 18) sebagai salah satu argumen atas teori Realitas Sederhana (basīth al-haqīqah)[9] juga Argumen Apriori[10] (burhān innī)-nya, yaitu bertolak dari mengenal realitas Ada ke realitas Yang-Niscaya-Ada dan dari realitas Yang-Niscaya-Ada ke realitas adaan-adaan.[11]

Mulla Sadra lagi-lagi mengutip ayat, “…. “Sesungguhnya lelangit dan bumi keduanya dahulu menyatu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya …” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 30) sebagai argumen atas kemencakupan Realitas Sederhana-Absolut atas semua adaan-adaan terikat. Ia menulis:

Ratq ‘kemenyatuan’ ini menyinggung kesatuan sejati Ada yang satu dan sederhana, sementara fatq ‘pemisahan’ dalam ayat ini adalah penguraian kelangitan, kebumian, keakalan, kejiwaan, kemalaikatan Ada.[12]

Mulla Sadra memperkenalkan ayat “Allah bersaksi” sebagai argumen tertinggi atas Ada Tuhan,[13] karena argumen ini berbasis di atas sesuatu yang paling nyata, yaitu realitas Ada Absolut sebagai semata-mata Ada Absolut. Dan dari ayat, “Tidak cukupkah bahwa Tuhanmu saksi atas segala sesuatu” (QS. Fushshilat [41]: 53), ia menyimpulkan bahwa realitas Mahanyata bukan hanya argumen atas esensi-Nya Sendiri, tetapi juga argumen atas Ada semua adaan.[14] Artinya, mengenal adaan-adaan mungkin akan berujung pada mengenal Mahanyata sedemikian rupa bahkan mengenal Mahanyata merupakan syarat untuk mengenal adaan-adaan mungkin.[15] Bersambung

——————————–

Baca Juga :  Toleran dan Intoleran: Dua Praktik Beragama yang Sama-sama Radikal

[1] Menurut Mulla Sadra, adaan-adaan mengandung dua jenis bukti atas Tuhan: bukti alami atau bawaan, termasuk bukti atas keadilan, kebijaksanaan, kasih-sayang mahaluas Mahanyata yang menempatkan segala sesuatu pada tempatnya secara koheren dan dengan cara yang dapat diterima, dan bukti ujaran yang disimak oleh ahli pikir. Mereka akan membuktikan kesatuan Tuhan dan kebersifatan-Nya dengan sifat-sifat kesempurnaan serta kemurnian-Nya dari dari aspek-aspek kekurangan dan kelenyapan dengan menyaksikan setiap adaan (Shadr al-Muta’allihin, Tafsīr Sūrah Jumu’ah, hlm. 26 dan 199-200).

[2] Misalnya, ayat “Allah Pencipta segala sesuatu” (QS. Al-Ra’d [13]: 16), “Ketahuilah Dialah pemiliki penciptaan dan perintah” (QS. Al-A’raf [7]: 54), “Dialah yang menciptakan lelangit dan bumi” (QS. Al-An’am [6]: 73).

[3] Ini seperti pada ayat, “Allah adalah Cahaya lelangit dan bumi” (QS. Al-Nur [24]: 35), “, maka ke manapun kamu menghadap di sanalah wajah Allah” (QS. Al-Baqarah [2]: 115), “Dia bersama kamu di manapun kamu berada” (QS. Al-Hadid [57]: 4).

[4] Beberapa mufasir seperti: Mulla Sadra, Thabathaba’i, dan Jawadi Amuli mengkonfirmasi adanya perbedaan tingkatan antara ayat-ayat Alquran, seperti perbedaan tingkatan antara ayat “Allah bersaksi” dan ayat “Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan benar-benar binasalah dia!

[5] Ada dua macam penandaan atau tanda: pertama, konvensional seperti: bendera, pangkat militer, kostum, dan kedua, natural seperti: penandaan tanaman dan tumbuhan atas adanya air.

[6] ‘Jawadi Amuli, Rahīq Makhtūm, bagian IV, jld. 2, hlm. 455.

[7] Shadr al-Muta’allihin, Asrār al-Āyāt, hlm. 35. Lihat juga Mulla Sadra, Tafsīr sūrah al-Nūr, hlm. 36-37.

[8] Ridha Akbariyan, Ta’tsīr Qur’ān va Hadīts dar Falsafeh Islāmī, , hlm. 295-296.

[9] Shadr al-Muta’allihin, Al-Asfār al-Arba’ah, jld. 7, hlm. 17.

[10] Shadr al-Muta’allihin, Al-Asfār al-Arba’ah, jld. 7, hlm. 14.

[11] Shadr al-Muta’allihin, Al-Asfār al-Arba’ah, jld. 7, hlm. 138-139.

[12] Shadr al-Muta’allihin, Al-Asfār al-Arba’ah, jld. 7, hlm. 117.

[13] Shadr al-Muta’allihin, Asrār al-Āyāt, hlm. 57.

[14] Untuk mengetahui lebih lanjut penjelasan Mulla Sadra tentang kebuktian Mahanyata atas Ada segala sesuatu, Ada, lihat Shadr al-Muta’allihin, Asrār al-Āyāt, hlm. 85-88.

[15] Sambil mengutip catatan Ibnu Sina tentang kefakiran Ada esensial adaan-adaan sebagaimana diuraikan dalam Al-Ta’līqāt, Mulla Sadra menegaskan, “Ada mungkin, pada dirinya sendiri, bukanlah sesuatu yang sanggup menampilkan dan menampakkan Yang-Niscaya (Tuhan); ia tidak lebih dari sinar yang hanya diketahui dalam terang penampakan Yang-Niscaya dan dengan tinjauan terhadap-Nya, karena sesuatu yang seidentik dengan selain dirinya tidak akan pernah diketahui tanpa meninjau selain tersebut.

Share Page

Close