• LAINYA

TAFSIR-FALSAFI–Alquran memandang kenyataan alam sudah tuntas sehingga ia tidak mengemukakan bukti dan argumen apa pun atas Ada alam di luar pikiran. Terlepas dari beberapa tradisi umum dalam filsafat yang membahas hal-ihwal seputar Ada-tiadanya alam adaan-adaan, Alquran hanya mendorong agar manusia memikirkan alam semesta, menjelaskan sejumlah karakteristik dan peristiwa-peristiwanya.

Dalam mendorong manusia berpikir tentang alam semesta, pendekatan ayat-ayat Alquran terkadang berupa pertanyaan retorik bernada teguran,[1] atau berupa penjelasan deskriptif mengenai berbagai aspek epistemologis dan dimensi-dimensi pembelajaran tentang alam semesta,[2] atau berupa apresiasi kepada pemikir[3] atau kecaman terhadap mereka yang lalai dan beritikad buruk.[4]

Ayat-ayat yang memotivasi berpikir tentang alam semesta, pada umumnya, terfokus pada mengenalkan prinsip Tauhid. Meskipun Tauhid disinggung dalam membahas kepenciptaan (khāliqiyyah) Tuhan secara implisit dan berulang-ulang, tetapi keesaan Tuhan dalam penciptaan alam semesta, tampaknya, dianggap sudah tuntas oleh Alquran.

Karena itu, baik dalam bentuk pertanyaan bernada teguran retorik terhadap ketidakpercayaan orang-orang kafir atau kejahatan orang-orang jahat, pengakuan atas Tauhid Kepenciptaan (mengesakan Allah sebagai satu-satunya pencipta alam) diterima Alquran sebagai bukti,[5] atau sekedar merenungkan langit dan bumi sudah dianggap cukup untuk membuktikan Tauhid Kepengaturan (rubūbiyyah: Allah sebagai satu-satunya pengatur dan pengelola alam semesta),[6]

Tauhid Kepenciptaan juga dianggap Alquran sudah tuntas sehingga, atas dasar tauhid ini, langsung membuktikan Tauhid Kepengaturan, seperti dalam ayat: “Dia berkata, ‘Yang memberikan bentuk penciptaan kepada segala sesuatu kemudian memberinya petunjuk’” (QS. Thaha [20]: 50), karena kepengaturan—sebagai bentuk penciptaan hubungan aksiden dan sifat dengan diri-penyandang (subjek)— tak lain adalah penciptaan itu sendiri atau bagian dari esensi penciptaan.[7]

Redaksi ayat-ayat seperti “Yang demikian itu karena sungguh Allah Dialah Mahanyata[8], “Tidak ada tuhan bagimu selain Dia[9], “Tidak ada tuhan selain Allah[10], tidak dilapisi argumen dan bukti. Ini juga merupakan indikasi lain atas ketuntasan validitas prinsip Tauhid Kepenciptaan, Tauhid Kepengaturan, bahkan Tauhid Ketersembahan (ulūhiyyah: mengesakan Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang layak disembah).

Tentu saja ada ayat-ayat yang menyoroti lawan Tauhid, yakni syirik, sebagai sikap yang tak berdasar,[11] atau membuktikan prinsip Tauhid dalam bentuk demonstrasi dengan-kontradiksi (burhān al-khulf).[12] Pada akhirnya, ada serangkaian ayat yang menegaskan prinsip Tauhid sebagai konsekuensi esensial uluhiyyah.[13] Artinya, uluhiyyah dan ketuhanan itu sendiri, tanpa perantara premis apa pun, sudah merupakan dasar yang cukup untuk membuktikam validitas prinsip Tauhid. Jumlah ayat serangkai ini sangat kecil dibandingkan dengan jumlah ayat yang menggunakan argumen empiris untuk mengenalkan sifat-sifat kesempurnaan Tuhan.

Mungkin pendekatan umum Alquran dalam kosmologi bisa disebut sebagai kosmologi berbasis Tauhid, karena Alquran selalu memperkenalkan alam semesta dalam kerangka hubungannya dengan Tuhan. Tidak ada ayat yang mendefinisikan alam atau bagian darinya secara terlepas hubungannya dari Tuhan dan dari asal atau tujuan penciptaannya. Bahkan ayat-ayat yang menyoroti alam semesta dalam kaitannya dengan manusia atau terfokus pada koordinasi dan harmoni antarelemen alam satu sama lain mengandung singgungan tentang asal atau tujuan alam.

Meski demikian, ayat-ayat yang menyoroti hubungan antara Tuhan dan alam atau, secara umum, ayat-ayat yang mengarah ke kosmologi dapat diklasifikasi menjadi dua kelompok:

  • Kelompok ayat yang menyinggung hubungan kausalitas (rābithah ‘illī) antara Tuhan dan alam; dan
  • Kelompok ayat yang berkaitan dengan hubungan kepenampakan (rābithah zhuhūrī) antara Tuhan dan alam.

Hubungan Kausalitas Tuhan dengan Alam

Dalam kelompok ayat ini, dua kata khalq ‘mencipta’ dan amr ‘memerintah’ digunakan Alquran tentang penciptaan alam, seperti dalam ayat, “Ketahuilah bahwa milik-Nyalah penciptaan dan perintah” (QS. Al-A’raf [7]: 54), “Dan matahari, bulan, dan bintang-bintang tunduk pada perintah-Nya” (QS. Al-A’raf [7]: 54), “[Dia] yang menciptakan lelangit dan bumi serta apa pun yang ada di antara keduanya dalam enam hari” (QS. Al-Sajdah [32]: 4), “Yang memberikan bentuk penciptaan kepada segala sesuatu kemudian memberinya petunjuk.’ (QS. Thaha [20]: 50). Kata sambung ‘dan’ di ayat pertama ini (QS. Al-A’raf [7]: 54) menunjukkan perbedaan antara amr ‘memerintah’ dan khalq ‘mencipta’.

Ada banyak pandangan seputar perbedaan antara khalq dan amr yang akan diuraikan berikut ini secara singkat:

Pertama, baik khalq maupun amr sama-sama berarti ījād ‘mengadakan’. Bedanya, khalq adalah mengadakan secara bertahap dan berwaktu, “[Dia] yang menciptakan lelangit dan bumi serta apa pun yang ada di antara keduanya dalam enam hari” (QS. Al-Sajdah [32]: 4), sementara amr adalah mengadakan secara seketika, “Dan perintah Kami tidak lain hanyalah satu [kata] seperti sekejap mata” (QS. Al-Qamar [54]: 50). Oleh karena itu, ayat-ayat yang berkaitan dengan penciptaan badan jasmani menerangkan keberuntunan dan keberwaktuan secara eksplisit, namun Alquran tidak menyinggung waktu dalam membicarakan penciptaan ruh yang merupakan amr Tuhan.[14]

Kedua, dalam mengadakan dengan kategori khalq, niscaya ada takdir ‘menentukan’ ukuran serta menata aspek dan segi, “Dia menciptakan segala sesuatu lalu menentukan ukuran-ukurannya dengan tepat” (QS. Al-Furqan [25]: 2). Akan halnya mengadakan dengan kategori amr, tidak ada penentuan aspek adawi, penataan syarat-syarat dan pelengkapan kondisi-kondisi Ada.[15]

Ketiga, amr itu bebas-murni dari pertentangan (tadhādd), kebanyakan (katsrah) dan perubahan, sebagaimana Alquran menyebutnya dengan “satu” (wahdah). Adapun khalq mencakup pembanyakan (taktsīr), kebanyakan, perubahan dan variabel medan pertentangan, “Tidak ada yang segar atau yang layu tetapi terdapat dalam kitab yang nyata” (QS. Al-An’am [6]: 59).[16]

Keempat, amr adalah khusus Tuhan, tetapi khalq bisa berlaku pada selain Tuhan, “Dan ingatlah ketika engkau mencipta dari tanah sebentuk burung dengan izin-Ku lalu engkau meniupnya” (QS. Al-Ma’idah [5]: 110). Namun harus diakui pula bahwa kata ganti jamak dalam ayat, “Dan perintah Kami tidak lain hanyalah satu [kata] seperti sekejap mata” (QS. Al-Qamar [54]: 50) menganulir aspek ini. Artinya, amr dalam ayat ini bukan khusus Tuhan sehingga berbeda dengan khalq yang juga berlaku pada selain Tuhan.

Meski demikian, sekalipun pembedaan antara khalq dan amr di atas ini merupakan ketelitian tafsir yang bagus, tetapi juga membangkitkan pertanyaan-pertanyaan baru mengenai hubungan antara khalq dan amr. Sekali lagi, khalq ‘mencipta’ dan amr ‘memerintah’ adalah dua pola pengadaan (ījād). Khalq yaitu mengadakan sesuatu secara bertahap, bersyarat, berwaktu, dan pelakunya umum (Tuhan juga selain Tuhan—peny), tetapi amr adalah mengadakan sesuatu secara seketika (daf‘ī) tak-bersyarat, tak-berwaktu, dan pelakunya khusus (hanya Tuhan).

Pertanyaannya, jika khalq dan amr ini dikaitkan dengan Tuhan yang Mahaesa, Mahatetap, Maha Sempurna dan Azali, bagaimana lantas menjelaskan relasi antara dua pola pengadaan tersebut?

Dalam pertanyaan ini, setidaknya, secara implisit terkandung dua masalah esensial: pertama, bagaimana menjelaskan hubungan Tuhan yang Mahaesa dan Azali (tak ber-awal dan tak ber-akhir) dengan segenap makhluk yang baru (ber-awal), berubah, bergerak, dan bertahap; kedua, bagaimana menjelaskan hubungan amr (mengadakan secara seketika) dengan hukum alam, yaitu sebab-akibat?

Masalah pertama Ada merupakan salah satu masalah penting dalam ilmu Tafsir dan Kalam (teologi Islam), karena kepenciptaan, kepengaturan dan kepemerintahan Tuhan atas alam semesta serta keasalan-Nya bagi setiap makhluk yang membaru dan berubah bagian-bagiannya itu hanya berarti nyata sejauh keberadaan sebab-sebab dan membutuhkan beragam potensi dan kesiapan. Oleh karena itu, status Tuhan menjadi pencipta bersyarat dan, dalam perspektif agama, itu tentu saja tertolak.

Satu dari jalan keluarnya ialah dengan merujuk ayat “Dan perintah Kami tidak lain hanyalah satu [kata] seperti sekejap mata” (QS. Al-Qamar [54]: 50) dan ayat-ayat serupa yang secara eksplisit menyatakan pengadaan makhluk secara seketika dan sekaligus. Atas dasar ini, kepenciptaan Tuhan adalah status yang niscaya-nyata di pangkal sistem realitas, bukan di dalam sistem realitas.

Hanya saja, jalan keluar ini tidak konsisten dengan ayat-ayat seperti: “Setiap hari Dia dalam urusan” (QS. Al-Rahman [55]: 29), yakni ayat yang menerangkan penciptaan alam yang berkelanjutan dan menegaskan keniscayaan kepenciptaan Tuhan di dalam sistem realitas secara terus menerus.

Di sisi lain, tampak adanya pertentangan antara pengadaan seketika dan pengadaan tak-bersyarat sebagaimana arti dari kata amr dalam ayat QS. Al-Qamar [54]: 50, atau kata kun (“Jadilah!”) dalam ayat QS. Yasin [36]: 82, dan hukum kausalitas (sebab-akibat) yang memerintah dan mengatur alam semesta.

Ayat Alquran, dalam hal ini, juga dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok:

Kelompok pertama, ayat-ayat yang mendefinisikan Tuhan sebagai “Pencipta segala sesuatu” sehingga, atas dasar ini, kepenciptaan Tuhan berlaku atas setiap apa saja yang bisa disebut sebagai sesuatu, mulai dari benda hingga masyarakat, budaya, konsep-konsep akalan, khayalan, termasuk bahkan tindakan manusia.[17]

Kelompok kedua, ayat-ayat yang menerangkan keterikatan tindakan Tuhan pada kondisi dan syarat tertentu. Ini berarti menegaskan hukum kausalitas dan menguatkan keumumannya. Ayat-ayat dalam kelompok kedua ini mengandung penjelasan yang mengaitkan kejadian suatu peristiwa dengan sebab-sebab alami[18] atau insani, seperti pohon berbuah karena hujan, atau azab menimpa suatu bangsa karena mereka berbuat keji.

Alhasil, berdasarkan sekian banyak ayat yang membicarakan hukum kausalitas di alam semesta, seseorang tidak dapat menyangkal kesebaban Tuhan atau hubungan Tuhan sebagai Sebab dengan alam, apalagi menganggap invalid hukum kausalitas. Di sisi lain, eksklusivitas dan kekhususan status sebab hanya bagi Tuhan dalam kejadian alam tidaklah cukup memecahkan masalah; seseorang tidak dapat menempuh cara yang, pada akhirnya, menghubungkan pengadaan dalam pola amr (pengadaan seketika) dengan asal-mula realitas lalu menempatkan Tuhan sebagai Sebab Sempurna (illah tāmmah).[19]

Dengan begitu, ia tentu saja akan mengaitkan pengadaan dalam pola khalq (bertahap) dengan alam ciptaan itu sendiri lalu menganggapnya sebagai “jam gaib”[20] yang gerak-kerjanya sudah diatur sesuai hukum kausalitas. Karena seperti yang telah dicatat sebelumnya, kriteria kebergantungan adaan-adaan (entitas-entitas) pada sebab sempurna, menurut Ibnu Sina, bukanlah kebaruan (hudūts: keterjadian) mereka, tetapi kemungkinan esensial (imkān dzātī) mereka, sementara keabsolutan (ithlāq) atau kenirbatasan Ada Tuhan Yang-Niscaya-Ada (wājib al-wujūd) meneguhkan kehadiran-Nya terus-menerus dalam sistem Ada.[21]

Baca Juga :  Masuk Islam karena Alquran (2): Gary Miller, Profesor Kanada yang Tadinya Menantang dan Mencari-cari Kesalahan

Alquran tidak hanya menganggap adaan-adaan yang tak diketahui sebab mereka sebagai tanda-petunjuk atas Ada pencipta. Tuhan-nya Alquran bukanlah Tuhan pengisi lubang sehingga konsep Tuhan hanya layak diandalkan sebagai alat saja acapkali seseorang menemui kebuntuan dalam menjelaskan hubungan sebab-akibat antarfenomena alam. Pada hemat Alquran, semua adaan dan setiap peristiwa yang bahkan sudah dijelaskan hubungan sebab-akibatnya oleh Alquran sendiri merupakan tanda dan bukti ilahi.[22]

Di sisi lain, beberapa ayat yang menyinggung sifat umum sistem penciptaan juga menunjukkan keterkaitan umum anasir alam satu sama lain dan hubungan pengadaan di antara mereka. Sebagai contoh, beberapa ayat berikut, “Dan setiap [sesuatu] memiliki suatu arah yang dia menghadap kepadanya” (QS. Al-Baqarah [2]: 148), “Milik-Nyalah penciptaan dan perintah” (QS. Al-A’raf [7]: 54), dan ayat, “Dia penjaga setiap jiwa terhadap apa yang ia perbuat” (QS. Al-Ra’d [13]: 33).[23]

Sebagian mufasir mengemukakan teori kausalitas sepanjang (illiyyah thūliyyah) sebagai upaya memvalidasi hukum kausalitas untuk menjelaskan konsistensinya dengan keumuman kepelakuan (fā‘iliyyah: kesebaban) Mahanyata (al-haqq: Tuhan). Dalam teori kausalitas sepanjang, ungkapan “pencipta segala sesuatu” tidak menegasi hubungan kausalitas antar-adaan, karena berdasarkan hukum kausalitas, dua sebab sejajar tidak mungkin sama-sama berpartisipasi dalam kejadian satu akibat.

Akan halnya dua sebab sepanjang (yang satu kepanjangan dari yang lain), bukan hanya tidak mustahil, justru niscaya sama-sama berpartisipasi dalam kejadian satu akibat, karena yang mustahil hanyalah partisipasi dua sebab sempurna pada satu akibat, adapun partisipasi sebab-sebab kurang atau partisipasi sebab kurang secara serangkai dan sepanjang dengan sebab sempurna dalam kejadian suatu akibat tidaklah mustahil.[24]

Memang, para mufasir itu tidak menguraikan modus partisipasi dua sebab: yang satu kurang dan yang lain sempurna, apakah itu partisipasi (musyārakah), penampakan (tajalliy) atau modus lainnya.

Cara lain menjelaskan hubungan antara amr dan khalq adalah metode yang ditempuh Mulla Sadra.[25] Metode ini didasarkan pada pemecahan unik filosofis yang ia ciptakan dalam rangka menyelesaikan konflik antara kebanyakan (katsrah: pluralitas) hakiki adaan-adaan dan kaidah Yang-Satu (qā‘idat al-wāhid). Dalam masalah-masalah Filsafat dan Kalam, Mulla Sadra bertolak dari prinsip Kesatuan Pemeragu Ada (al-wahdah al-tasykīkiyyah li al-wujūd). Ia membuktikan bahwa kaidah “Yang-satu tidak keluar darinya kecuali satu”[26] tidak bertentangan dengan banyaknya berbagai tindakan dan pengaruh dari Asal yang Mahasederhana (mabda’ basīth), dan kesesuaian (sinkhiyyah) akibat-akibat yang berbeda-beda dengan Pelaku/Sebab Absolut (fā‘il muthlaq) merupakan implikasi dari kepemeraguan (keberderajatan) dalam realitas.

Dengan kata lain, tindakan Pelaku Mahasederhana adalah satu realitas pemeragu (hid tasykīkī) yang mencakup kebanyakan individual (katsrah syakhsyī). Adaan-adaan terikat[27] dan banyak keluar-muncul dari Asal Yang Mahasederhana itu dengan mempertahankan kondisi, ikatan atau keperantaraan derajat-derajat yang menyediakan syarat dan landasan kemengadaannya. Dengan demikian, kaidah Realitas Sederhana (basīth al-haqīqah) dan kaidah Yang-Satu sama sekali tidak bertentangan dengan Tauhid dalam-Tindakan (tawhīd af‘ālī).[28]

Tampaknya, metode ini juga dapat ditempuh untuk menyelesaikan pertentangan lahiriah antara pengadaan berpola amr ‘memerintah’ dan pengadaan berpola khalq ‘mencipta’, karena ke-satu-an perintah yang satu, seperti dalam ayat, “Dan perintah Kami tidak lain hanyalah satu [kata] seperti sekejap mata” (QS. Al-Qamar [54]: 50), adalah kesatuan sejati (wahdat haqīqī).

Sebagaimana telah dicatat, kesatuan sejati ini berbeda dari semua macam kesatuan, dimana kesatuan spesifik (wahdat naw‘ī) berdasar pada penyisihan ciri-ciri individual, kesatuan generik (wahdat jinsī) berdasar pada penyisihan diferensi-deferensi (fushūl) pembeda, dan kesatuan numerik (wahdat ‘adadī) berdasar pada penyisihan hal-hal serupa, sementara kesatuan sejati adalah keabsolutan luas (ithlāq si‘ī) sedemikian rupa hingga mencakup seluruh realitas. Kesatuan ini “merangkul” semua peristiwa berwaktu dan bertempat, bahkan waktu dan tempat itu sendiri, seluruh sebab, akibat, yang-dahulu, yang-berikut, potensial, aktual. Kesatuan ini hanya memiliki satu acuan (mishdāq), yaitu Ada Absolut atau Absolut Ada. Kesatuan sejati tidak menyisakan ruang untuk asal, tujuan, yang-kontras, setara, serupa, sekutu.[29]

Tentu saja, tidak benar menganggap bahwa Tuhan telah menciptakan satu adaan bernama malaikat, akal atau selainnya lalu menempatkannya sebagai perantara penciptaan adaan-adaan lain sehingga, dengan sistem hierarki Ada ini, semua adaan di alam realitas tercipta. Kendati anggapan seperti ini sudah lama dikemukakan, namun tetap saja berbeda bahkan bertentangan dengan pengertian yang telah diuraikan di sini, karena perintah yang satu atau perintah kun (jadilah!) yang tidak berhubungan dengan masa lampau senantiasa berlaku, dan jika perintah kun berlaku terbatas pada awal penciptaan saja, maka pandangan politeistik agama-agama yang telah menyimpang akan terbuka di hadapan kita untuk lantas mengaitkan penciptaan Tuhan dengan awal penciptaan.

Perintah pengadaan kun, karena bersifat absolut-luas (ithlāq si‘iy) sehingga tidak terikat oleh batasan waktu, tidak terkait dengan masa lampau atau masa depan, tetapi ia justru mencakup waktu. Konsekuensinya, dalam perintah ini, tidak ada awal dan akhir atau kedahuluan dan keberikutan temporal, meskipun ada kedahuluan dan keberikutan esensial dalam hierarki derajat-derajatnya.[30]

Juga tidak ada argumen untuk lantas disimpulkan bahwa penerima perintah ini adalah adaan tertentu. Penjelasannya: penerima (audien) perintah kun, jika nyata-ada, maka ini tautologis (tahshīl al-hashil)[31] yang absurd, karena perintah ini bersifat pengadaan (takwīnī) sehingga mencakup pengadaan adaan eksternal. Jika penerima perintah kun tidak ada, maka apa saja yang-tiada tidak dapat berposisi sebagai objek penerima perintah apa pun.

Pada hemat kalangan sarjana Islam,[32] perintah yang bersifat pengadaan tertuju pada segala sesuatu yang hadir sebagai pengetahuan di alam ilmu Tuhan, meskipun mereka mungkin tidak memiliki kehadiran objektif di realitas eksternal.[33]

Jadi, penerima [perintah kun] adalah tiadaan (ma‘dūm: yang-tiada) eksternal dan hanya berupa adaan kepengetahuanan (mawjūd ‘ilmī), yakni tahuan Mahanyata (Tuhan) Yang Mahatinggi. Dan karena sebagai tahuan Mahanyata, ia berstatus sebagai objek-penerima perintah-Nya.[34]

Namun demikian, tidak ada bukti aklani (‘aqlī) ataupun keterangan tekstual (naqlī) untuk membatasi penerima perintah hanya pada adaan tertentu, entah itu malaikat, akal, cahaya atau apa saja selain mereka, sebagai adaan pertama. Tidak ada argumen yang mengizinkan kita mengasumsikan adanya suatu perantara dalam perintah pengadaan antara Yang-Niscaya-Ada (wājib al-wujūd) dan makhluk, karena ungkapan “Apabila Dia menghendaki sesuatu, Dia hanya berkata, kun (‘Jadilah!’), maka jadilah sesuatu itu” (QS. Yasin [36]: 82) menunjukkan bahwa penerima perintah kun adalah apa saja yang bisa disebut sebagai sesuatu.

Jadi, mengadanya makhluk yaitu penurunan bertahap pengetahuan Tuhan dengan ukuran dan takaran tertentu bersama dengan kedahuluan dan keberikutan dalam rangkaian waktu. Karena itu, Mulla Sadra mengatakan:

Pengetahuan-Nya yang merupakan Esensi-Nya itu Sendiri adalah sebab bagi Ada ciptaan-ciptaan-Nya. Maka, Dia menampakkan segala sesuatu dengan kebijaksanaan-Nya, “Memberi penciptaan-Nya kepada segala sesuatu” dengan kemahakuasaan-Nya, dan mewujūdkan adaan-adaan di alam semesta dengan kemahakasihan-Nya. Dia mengetahui segala sesuatu dalam ketentuan-Nya yang terdahulu secara umum juga detail, kemudian Dia menurunkan mereka dengan ukuran objek-tahuan secara bertahap …. dan menatanya dalam arus waktu mana yang dahulu dan mana yang berikut.[35]

Jadi, tidak ada pertentangan antara ayat “Setiap hari Dia dalam urusan” (QS. Al-Rahman [55]: 29) dan ayat, “Dan perintah Kami tidak lain hanyalah satu [kata] seperti sekejap mata” (QS. Al-Qamar [54]: 50). Justru, kesatuan di ayat kedua ini menegaskan kesatuan absolut (wahdat ithlāqī) yang konsisten dengan kebertahapan dan kebanyakan (katsrah) di ayat pertama. Oleh karena itu, ayat pertama dapat ditempatkan sebagai penjabaran atas ayat kedua, sedangkan perintah yang satu dapat dipandang sebagai alam yang satu dengan kesatuan absolut.

Yakni, sebagian dari realitas yang satu itu adalah berubah, mengalir (sayyāl), mencakup masa lampau, masa kini, masa depan, serta tempat untuk kehendak-kehendak atas kejadian partikular. Dengan menebarnya realitas yang satu ini yang ekstensif ini, seluruh alam menjadi muncul dan penciptaan lelangit dan bumi terlaksana.”[36]

Oleh karena itu, Ada adalah satu kesatuan bersambung secara nyata, dan seluruh alam merupakan curahan (faydh) tunggal dari Mahanyata atau satu perintah ilahi. Tentu saja, perintah yang satu ini adalah hierarki pemeragu dan berderajat. Pastinya, apa saja yang, pada awalnya, menampak secara sejati (hakiki) dan lebih menampak adalah kebanyakan, keberbilangan, kebertahapan dan kebermacaman. Pemahaman atas kesatuan integral alam seperti perintah yang satu atau curahan tunggal dari Mahanyata ini dicapai dengan pemikiran dan analisis yang mendalam.

Pembagian curahan ilahi, yang merupakan curahan tunggal, adalah hasil dari analisis pikiran kita dan bergantung pada pengamatan manusiawi kita. Pikiran kita dapat mengamati berbagai aspek dari satu adaan seperti: Ada, kuiditas, genus, diferensi dan aspek lainnya secara independen dan terpisah satu sama lain, dan dengan cara yang sama pikiran membagi gerak waktu yang satu dan berhubung kepada bagian-bagian seperti: milenium, abad, dekade, tahun, bulan, minggu, hari, malam, jam, menit, detik, dan lain-lain.

Dengan cara yang sama pula perintah Tuhan yang satu itu—sebagai realitas yang memiliki kesatuan sejati (wahdat haqīqī), bukan numerik, spesifik, atau generik—diamati oleh pikiran banyak dan variatif karena variasi objek atau penerima curahannya.

Jadi, secara umum, kata ilahi, “Jadilah!”, jika ditinjau dari segi kesatuan, maka ia adalah satu kata yang menghimpun seluruh kata-kata ilahi, dan keluarnya dari Mahanyata, tak lain dan tak bukan, adalah Ada/keberadaan bertahap adaan-adaan itu sendiri. Akan halnya jika ditinjau dari segi keterperinciannya, kata itu ia mencakup berbagai derajat dan periode Ada. Mulla Hadi Sabzawari menulis:

Baca Juga :  Filsafat Manusia dalam Alquran (2): Posisi Manusia di Alam

Dan perintah satu ini itulah Ada membentang (wujūd munbasith) Ada yang tidak membanyak kecuali dengan banyaknya objek-objek. Kata ilahi ini menghimpun seluruh kata-kata Tuhan, dan emanasinya sama dengan emanasi semua adaan …, meskipun dalam rangka mendeskripsikan emanasi bertahap dan sistematis adaan-adaan darinya, [asas] Keselarasan (sinkhiyyah)[37] tidak diabaikan begitu saja.”[38]

Dalam menjelaskan Mulla Sadraayat, “Apabila Dia menghendaki sesuatu, Dia hanya berkata, kun (‘Jadilah!’), maka jadilah sesuatu itu” (QS. Yasin [36]: 82), Mulla Sadra membawakan analogi perkataan dan pembicara sebagai pendekatan bahwa kebergantungan Ada alam pada Mahanyata laksana kebergantungan realitas perkataan pada pembicara.[39]

Secara umum dalam Alquran, status Pencipta dan Sebab-Pengada terbatas hanya khusus Tuhan. Ini merupakan implikasi logis dari prinsip Tauhid dalam-Tindakan (tawhīd af‘ālī) dan poros penentu dalam pemikiran Islam. Kendati implikasi ini berarti menafikan kemandirian sebab-sebab alami, namun tidak berarti menafikan sistem sebab-akibat.

Faktanya, ada dua metode dalam Alquran: yang satu secara eksklusif dan khusus mengaitkan segala sesuatu hanya kepada Tuhan, sementara yang lain membuka ruang bagi selain Tuhan. Dua metode ini merupakan medan proporsional yang menunjang penjelasan rasional atas Tauhid Sebab-Pengada berdasarkan prinsip Kausalitas atau kesebaban pemeragu (hierarkis).

Dalam beberapa ayat, Alquran menyatakan eksklusivitas keperkasaan, kekuasaan, kepenciptaan dan lain-lainnya hanya pada Tuhan.[40] Namun dalam beberapa ayat lain, Alquran menyatakan inklusivitas dan mengakui keterlibatan selain Tuhan dalam sebagian tindakan atau kaulitas seperti: ayat-ayat yang mendeskripsikan Tuhan dengan sifat komparatif dan, secara implisit, mengaitkan kualitas itu kepada selain diri-Nya.[41] Kedua kelompok ayat ini secara komplementer memberikan gambaran mengenai kausalitas atau kesebaban pemeragu dan Tauhid dalam-Tindakan.

Memang beberapa ayat Alquran menegaskan eksklusivitas di samping inklusivitas seperti ayat-ayat, “Dan engkau (Muhammad) yang melempar ketika engkau melempar, tetapi Allah yang melempar” (QS. Al-Anfal [8]: 17), “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu” (QS. Al-Shaffat [37]: 96), “Perangilah mereka niscaya Allah akan mengazab mereka dengan tangan kalian”, (QS. Al-Taubah [9]: 14) dan ayat-ayat dalam surat Al-Waqi’ah.[42] Ayat-ayat semacam ini, pada dasarnya, mengungkapkan peran sebab-sebab kurang (‘ilal nāqishah) atau perantara sebagai penyiap (i’dādī) dan menerangkan peran keperantaraan sebab-sebab alami.

Tampaknya analogi terbaik untuk kesebaban pemeragu di alam adalah kausalitas pemeragu dalam jiwa kita sebagai manusia. Semua tindakan ilmiah dan praksis kita, kendati memiliki sebab tertentu dan terjadi karena faktor-faktor tertentu di luar diri kita atau motif di dalam diri kita, namun tetap dikaitkan dengan jiwa insani kita. Seperti yang telah dijelaskan, realitas tunggal jiwa inilah yang hierarkis dalam berbagai derajat perasaan (termasuk ingin, nafsu, benci atau marah), khayal dan akal, serta menuntaskan semua tindakan insani pada derajat yang berbeda-beda. Artinya, kausalitas pemeragu dalam jiwa yaitu jiwa adalah akal pada derajat tertentu, indra pada derajat lain dan khayal sesuai derajat ketiga.

Jelas, tidak satu pun dari derajat jiwa ini independen atau terpisah. Karena itu, bahkan istilah “kausalitas perantara” atau “sebab penengah” digunakan secara tidak ketat untuk derajat-derajat tersebut.[43] Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kesebaban apa saja yang ada di alam, dari yang abstrak dan malaikat hingga sebab-sebab natural dan insani, semuanya adalah derajat-derajat pemeragu dari kesebaban Mahanyata, bahkan semua adalah tampakan dari kesebaban Mahanyata dan sama sekali tidak terpisah dan mandiri di hadapan kesebaban-Nya.

Tentu saja, kehadiran Tuhan yang maha mencakup dan terus menerus dalam hierarki Ada, berdasarkan ayat “Setiap saat Dia dalam urusan” (QS. Al-Rahman [55]: 29), adalah kenyataan yang pasti dan prinsip Tauhid. Atas dasar ini, kehadiran itu seharusnya tidak menghalangi fokus pada kehadiran derajat-derajat pemeragu sistem kausalitas, karena menurut QS. Al-Ra’d [13]: 2-4, pengelolaan urusan-urusan alam terlaksana melalui suatu hierarki pemeragu berbagai perantara material dan nonmateri. Para perantara dari derajat yang lebih rendah senantiasa dikendalikan oleh derajat yang lebih tinggi, begitu seterusnya hingga mencapai sifat-sifat tindakan Tuhan Yang Mahatinggi, namun kemahamencakupan sifat-sifat tindakan Tuhan juga tidak sama. Karena itu, beberapa di antaranya dikendalikan oleh yang lain. Pada puncaknya, semua nama dan sifat tindakan Tuhan tercakup dalam nama al-qayyūm (Mahamandiri).

Kemahamandirian absolut Mahanyata yaitu Dia berdiri dengan diri-Nya Sendiri dan mendirikan selain-Nya; ia adalah relasi atau relasi pencerahan (idhāfah isyrāqiyyah) yang hanya nyata dalam kekuasaan Realitas yang Mahamandiri.[44] Fakta ini sekaligus membuktikan keniscayaan azali (dharūrah azaliyyah) sifat-sifat esensial Mahanyata juga keniscayaan kontinuitas kesebaban-Nya.

Kemahamandirian adalah satu relasi yang, sebagai keniscayaan azali, berlaku pada Esensi Yang-Niscaya, karena kemahamandirian bukanlah sifat yang berlaku dalam kondisi tertentu pada Yang-Niscaya sehingga lantas dapat ternegasikan dalam kondisi yang lain. Ia sesungguhnya sifat abadi-azali yang hanya bergantung pada kekuasaan Mahanyata dan tidak ada kondisi “menunggu” (intizhār) di dalamnya.[45]

Mengingat semua latar belakang dan kesiapan, termasuk kemaslahatan, keinginan, waktu, dan lain-lain berada dalam medan pencurahan ilahi (faydh ilāhī) dan dalam arus relasi pencerahan Mahanyata, maka semua relasi berakhir di satu relasi, yaitu relasi pencerahan kemahamandirian.

[Namun demikian,] keazalian dan kemahadahuluan segenap anugerah dan pencurahan ilahi tidak menghalangi kelapukan, kepunahan dan pembaruan konstan makhluk.[46]

Poin pentingnya, relasi pencerahan kemahamandirian Mahanyata atau Curahan Membentang (faydh munbasith) atau perintah ilahi yang satu bukan berupa kumpulan alam realitas, dan Curahan Membentang tidak pernah memiliki bagian-bagian nyata dan eksternal sehingga, atas dasar itu, lantas terbagi menjadi alam dunia dan alam akhirat, atau dahulu, sekarang dan masa depan.

Pencurahan ilahi memiliki kesatuan sejati dan, pada implikasnya, ia tidak terdiri dari banyak dan berbagai bagian, tidak pula membentuk suatu kumpulan. Kumpulan itu pada dirinya sendiri tidak ada dalam realitas; ia hanya merupakan abstraksi pikiran. Akan halnya Curahan Membentang atau relasi pencerahan kemahamandirian adalah satu Ada yang nyata dan luas yang memiliki kesatuan bersambung (wahdat ittishāliyyah).

Kesatuan bersambung Curahan Membentang ini mirip dengan kesatuan bersambung laut, dimana air laut adalah satu realitas, meskipun laut terkadang dangkal atau dalam, terkadang tampak seperti busa atau seperti ombak. Kesatuan bersambung juga bisa dianalogikan dengan kesatuan bersambung cahaya.[47] Cahaya adalah satu realitas yang, jika melewati prisma, akan terurai dan terpecah.

Jadi, meskipun seluruh alam realitas setiap saatnya membutuhkan dan pendapatkan pencurahan baru ,[48] tetapi setiap pencurahan baru tidak bergantung pada kehendak baru. Semua pencurahan adalah derajat-derajat pencurahan ekstensif itu sendiri yang turun dan tercurahkan secara bertahap sesuai keterbatasan para penerima (makhluk).

Kehadiran Curahan Membentang Mahanyata dalam “jantung” realitas semua adaan tidak bergantung pada mereka,[49]Dialah Tuhan di langit dan Tuhan di bumi”’ (QS. Al-Zukhruf [43]: 84). Meskipun Dia berada di langit, Dia bukanlah langit, tetapi Dia adalah Tuhan. Kendati Dia ada di bumi, Dia bukanlah bumi, tetapi Dia tetap Tuhan. Dia ada pada segala sesuatu, tetapi tidak secara bercampur dan berbaur.[50]

Ada dua tantangan populer dalam konsep Tauhid dalam-Tindakan (al-tawhīd al-af‘āliy) sejauh relasinya dengan realitas kejahatan juga dengan kehendak-bebas manusia sehingga memicu perdebatan yang begitu luas di kalangan mutakallim dan mufasir. Dari kedua ayat ini, “Dia pencipta segala sesuatu” (QS. Al-An’am [6]: 102) dan “Yang menyempurnakan segala sesuatu yang Dia ciptakan” (QS. Al-Sajdah [32]: 7), jelas bahwa karena penciptaan dan kesempurnaan itu adalah seiring dalam Ada, maka apa saja yang bisa disebut sebagai sesuatu adalah makhluk Tuhan, dan setiap makhluk Tuhan adalah sempurna.

Demikian pula kejahatan sebagai realitas dan kenyataan adalah suatu adaan atau suatu fenomena nyata dan Ada, karena ia nyata, maka ia tidak buruk. Ia dinilai buruk sejauh kaitan fenomena itu dengan situasi konflik dan dalam hubungan-hubungan khasnya dengan adaan dan fenomena yang lain.[51]

Oleh karena itu, medan kenyataan kebaikan dan keburukan atau kepatuhan dan pembangkangan berbeda dari medan kejadian atau realitas eksternal. Maka itu, meskipun kebaikan dari segi keberadaan dan dari segi nilainya berasal dari Tuhan, “Apa pun kebaikan yang menimpamu maka itu dari Allah”, juga keburukan dari segi keberadaan dan dari segi nilainya berasal dari diri manusia, namun segala sesuatu, entah itu baik atau buruk, dari segi keberadaan dan kejadian mereka adalah dari dari Tuhan, “Katakanlah, ‘Semua dari sisi Allah’”.[52]

Demikian pula, kehendak-bebas manusia terlibat dalam kausalitas pemeragu (‘illiyyah tasykīkiyyah); kehendak manusia merupakan sebuah derajat dalam hierarki sistem kausalitas Tauhid yang berlaku atas semesta. Ayat-ayat seperti, “Dia menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat” (QS. Shaffat [37]: 96) yang mengaitkan tindakan manusia dengan Tuhan, tidak mengakui peran sebab-sebab perantara seperti: manusia dan tindakannya, sebagai perantara kejadian selain hanya sebatas perantara representasi dan penyingkapan. Karena itu, penggunaan istilah sebab pada mereka ini tidak tepat, karena realitas adaan-adaan tidak lebih dari sebagai perantara dalam penyingkapan, bukan dalam keberadaan.[53]

Dengan kata lain, adaan dan fenomena apa pun, dari aspeknya sebagai realitas, terkait secara absolut dengan Yang-Niscaya-Ada dan Pencipta Abadi segala sesuatu. Namun, dari segi mereka berada dalam sistem realitas dan berelasi dengan adaan-adaan yang lain sehingga memiliki posisi khusus, mereka bisa menjadi subjek kebaikan atau keburukan.

Konsep Ada memiliki medan yang lebih luas daripada konsep baik dan buruk. Karena itu, semua adaan setelah tercipta terklasifikasi ke dalam dua kelompok: baik dan buruk, dan betapa banyak suatu adaan dianggap buruk dari sudut pandang manusia, namun juga dipandang baik dari sudut pandang adaan itu sendiri atau dari sudut adaan lainnya.

Baca Juga :  Kematian dan Mendesain Masa Depan (1): Kematian, Identitas Manusia

Meskipun pandangan sempit manusia tentang kejahatan dan keburukan natural itu faktor penentu, namun konsep kehendak-bebas berperan dasar dalam menjelaskan sebagian fenomena sosial yang dikategorikan sebagai kejahatan seperti: peperangan, kecelakaan, penindasan, dan lain-lain.

Berdasarkan teks tegas ayat, “Dialah Yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat”, semua perbuatan dan ciptaan manusia adalah makhluk Tuhan. Sementara kejahatan dan keburukan manusiawi, karena ia acuan “sesuatu”, maka kejadiannya dikaitkan dengan Tuhan, “Pencipta segala sesuatu”. Meski demikian, kehendak Tuhan berkaitan dengan kebebasan manusia pada periode tertentu agar terbuka medan pengujian. Telaah lebih dalam atas persoalan ini ditangguhkan ke Bagian Antroposofi.

Alhasil, semua proses alami dan seluruh tindakan manusia sebagai dampak dari kemusnahan abadi dan kelenyapan esensial seluruh adaan bersandar pada Tuhan dalam keniscayaan dan keabsolutan esensial-Nya. Namun demikian, seperti diingatkan Mulla Sadra, itu tergantung dari aspeknya. Pada satu aspek, yaitu aspek pencurahan, pencurahan Ada merupakan kebaikan esensial dari Tuhan secara absolut, sedangkan pada aspek lain, yaitu subjek-penerima curahan, kejahatan dan keburukan itu bersifat relatif dan berkaitan dengan aspek-aspek kemungkinan serta kuiditatif suatu adaan.[54]

 

 Bersambung

____________________________

[1] Lih. QS. Al-A’raf [7]: 185, QS. Qaf [50]: 6, QS. Al-Rum [30]: 8-9, QS. Muhammad [47]: 10.

[2] Lih. QS. Al-Baqarah [2]: 164, QS. Al Imran [3]: 190, QS. Luqman [31]: 10, QS. Yunus [10]: 10.

[3] Lih. QS. Al Imran [3]: 191.

[4] Lih. QS. Al-Jatsiyah [45]: 7.

[5] Lih. QS. Al-Mu’minun [23]: 84-90.

[6] Lih. QS. Ibrahim [14]: 10.

[7] Jawadi Amuli, Tafsīr Sūrah Baqarah, ayat 163-164, Pembahasan 278.

[8] QS. Al-Hajj [22]: 6

[9] QS. Al-A’raf [7]: 85, QS. Hud [11]: 61, 50, 84.

[10] Kata “tidak” adalah partikel yang berfungsi sebagai penolakan dan negasi generik (nāfiyah li al-jins). Yakni, dengan kata “tidak”, pembicara tidak dalam rangka menyangkal sifat dan atribut yang melekat pada sesuatu, tetapi langsung menolak dan menegasi realitas dan esensi sesuatu tersebut. Dalam kalimat “Tidak ada tuhan selain Allah” atau “Tidak ada tuhan selain Dia”, kata “tidak” menyatakan negasi atas keraguan terhadap ketuhanan dan prinsip Tauhid sekaligus menegaskan orisinalitas ketuhanan dan prinsip Tauhid. Lih. Thabathaba’i, Al-Mīzān, jld. 1, hlm. 559.

[11] Lih. QS. Al-Nahl [16]: 64, QS. Al-Anbiya’ [21]: 23, QS. Al-Mu’minun [23]: 118.

[12] Lih. QS. Al-Anbiya’ [21]: 22, QS. Al-Mulk [67]: 3-4.

[13] Lih. QS. Al Imran [3]: 18.

[14] Jawadi Amuli, Shūrat wa Sīrat Insān dar Qur’ān, hlm. 54-55.

[15] Thabathaba’i, Al-Mizān, jld. 8, hlm. 10.

[16] Shadr al-Muta’allihin, Al-Asfār al-Arba’ah, jld. 3, hlm. 9-10.

[17] Lih. QS. Al-Mu’min [23]: 62, QS. Al-Zumar [39]: 62, QS. Al-Ra’d [13]: 16, QS. Al-An’am [6]: 101.

[18] Lih. ayat, “Dia melepaskan halilintar lalu menimpakan pada siapa yang Dia kehendaki” (QS [13]: 13).

[19] Sebab sempurna disebut juga sebagai sebab cukup, lawan dari sebab kurang (illah nāqishah). Dalam terminologi Filsafat, sebab sempurna juga lazim disebut dengan sebab memadai—peny.

[20] Ungkapan analogis ini berasal dari Newton. Ia memandang alam semesta tak ubahnya dengan jam gaib yang dibuat oleh tangan gaib, yakni Tuhan, dan sampai sekarang tetap dan terus bekerja sesuai hukum-hukum kausal fisika dan tanpa intervensi kekuatan gaib.

[21] Jawadi Amuli, Rahīq Makhtūm, bagian V, jld. 1, hlm. 425.

[22] Lih. QS. Al-Ra’d [13]: 2-4.

[23] Lih. Thabathaba’i, Al-Mīzān, jld. 7, hlm. 460-461.

[24] Thabathaba’i, Al-Mīzān, jld. 17, hlm. 180.

[25] Shadr al-Muta’allihin, Al-Asfār al-Arba’ah, jld. 2, hlm. 335-342.

[26] Al-wāhid lā yashduru minhu illā al-wāhid.

[27] Terikat adalah padanan untuk muqayyad sebagai lawan dari absolut (muthlaq), sementara ‘banyak’ padanan untuk katsīr sebagai lawan dari satu (hid)—peny.

[28] Untuk studi proporsi aturan Yang Esa dengan Kesatuan Tindakan Ilahiah, lihat Jawadi Amuli, Rahīq Makhtūm, bagian III, jld. 2, hlm. 424-427.

[29] Ridha Akbariyan, Ta’tsīr Qur’ān va Hadīts dar Falsafah Islāmī, hlm. 296.

[30] Kedahuluan dan keberikutan esensial yaitu seperti kedahuluan dan keberikutan komponen-komponen satu entitas bersambung seperti: waktu atau garis yang muncul dari esensi dan realitas entitas tersebut sehingga tidak ada perantara apa pun. Jenis kedahuluan dan keberikutan ini berlaku pada segala sesuatu yang esensinya pemeragu (tasykīkī) atau berderajat. Lih. Ibrahim Dinani, Asmā’ va Sifāt Haqq, hlm. 219-220.

[31] Tahshīl al-hāshil yaitu mengadakan atau mengusahakan sesuatu yang sudah ada. Ini mustahil dan absurd—peny.

[32] Termasuk Sayyid Abdul Husain Sharafuddini. ‘Jawadi Amuli, Rahīq Makhtūm, bagian II, jld. 1, hlm. 207.

[33] Kehadiran kepengetahuanan dalam mode pengetahuan ilahi mirip dengan kehadiran kepengetahunan dari salah satu artefak dalam pikiran pembuatnya sebelum diciptakan di dunia.

[34] ‘Abdullāh Jawadi Amuli, Fithrat dar Qur’ān, hlm. 44.

[35] Sadrul Muta’allihin, Al-Wāridāt Al-Qalbiyyah fī Ma’rifat Al-Rubūbiyyah, hlm. 79.

[36] Abdullah Jawadi Amul, Rahīq Makhtūm, bagian II, jld. 1, hlm. 266.

[37] Prinisp Keselarasan (ashl al-sinkhiyyah) adalah salah satu implikasi langsung dari Prinsip Kausalitas. Prinsip ini menyatakan bahwa suatu akibat tidak terjadi dari sembarang sebab, juga suatu sebab tidak mengadakan sembarang akibat. Akibat tertentu hanya muncul dari sebab yang juga tertentu, demikian pula sebaliknya. Maka terdapat hubungan ketertentuan antara satu sebab dan akibatnya. Hubungan ketertentuan ini disebut dengan keselarasan (al-sinkhiyyah) sebab dan akibat—peny.

[38] Jawadi Amuli, Rahīq Makhtūm, bagian III, jld. 2, hlm. 430-431.

[39] “Kata-kata dan perkataan bergantung pada diri pembicara. Demikian pula, alam adalah kata (kalimah) Tuhan yang bergantung pada Tuhan. Kebergantungan itu bukan seperti kebergantungan aksiden pada subjek, kebergantungan tindakan pada pelaku. Kata pertama yang mengetuk telinga adaan-adaan mungkin adalah kata kun (Jadilah!). Kata ini, tentu saja, bukan berupa aksara dan suara. Kata itu adalah Ada/keberadaan. Seperti dijelaskan oleh Ali bin Abi Thalib ra., “Dia hanyalah mengatakan apa yang Dia inginkan, ‘Jadilah!’, maka terjadilah, tidak dengan suara yang keras, tidak pula dengan panggilan lembut terdengar. Akan tetapi perkataan (kalam) Dia yang Mahasuci hanyalah tindakan-Nya.” Oleh karena itu, tidak hanya alam terjadi dengan perkataan Tuhan, tetapi alam itu sendiri pada dasarnya tidak lain hanyalah firman-Nya, dan segala sesuatu di alam adalah derajat-derajat firman-Nya. Kata ‘Jadilah!’ merupakan curahan Ada yang berasal dari rahmat (kasih sayang) Tuhan, dan adaan-adaan mungkin adalah derajat-derajat ketertentuan (ta‘ayyun). Pada hakikatnya, semua elemen alam adalah derajat-derajat kata Mahanyata (al-haqq: Tuhan), dari yang paling rendah hingga manusia sempurna Al-Masih; semua bergantung dan bersandar pada Tuhan” (Shadr al-Muta’allihin, Al-Asfār al-Arba’ah, jld. 3, hlm. 5).

[40]Hanya bagi Allah-lah semua pertolongan” (QS. Al-Zumar [39]: 44), “Allah adalah Pencipta segala sesuatu” (QS. Al-Ra’d [13]: 16, QS. Al-Zumar [39]: 61), “Sesungguhnya Allah Dialah Pemberi rezeki, Pemilik kekuatan yang Mahakokoh” (QS. Al-Dzariyat [51]: 58), “Sesungguhnya kekuatan hanyalah milik Allah seluruhnya” (QS. Al-Baqarah [2]: 165).

[41]Sungguh! Aku telah membuatkan bagimu dari tanah berbentuk burung” (QS. Al Imran [3]: 49), “Mahasuci Allah, Pencipta yang paling baik!” (QS. Al-Mu’minun [23]: 14), “Allah adalah pemberi rezeki yang terbaik” (QS. Al-Jumu’ah [62]: 11), “Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, Rasul-Nya, dan bagi orang mukmin” (QS. Al-Munafiqun [63]: 8).

[42]Apakah kamu mempehatikan yang kamu pancarkan? Kami yang menjadikannya untuk peringatan dan bahan yang berguna bagi musafir” (QS. Ql-Waqi’ah [56]: 58-73).

[43] Jawadi Amuli, Rahīq Makhtūm, bagian II, jld. 2, hlm. 252.

[44] Dalam relasi pencerahan, tidak harus diasumsikan ada dua sisi. Tetapi keberadaan relasi itu tak lain adalah keberadaan genitif itu sendiri, sementara sisi genitif itu nyata secara tidak mandiri dari relasi pencerahan.

[45] ‘Jawadi Amuli, Rahīq Makhtūm, bagian II, jld. 2, hlm. 280.

[46] ‘Jawadi Amuli, Rahīq Makhtūm, bagian II, jld. 1, hlm. 276.

[47] Tentu saja, air dan cahaya, yang kerap digunakan sebagai analogi pada masalah-masalah semacam ini, bukanlah contoh sempurna dan komprehensif untuk menjelaskan pencurahan ekstensif, karena faktor pembeda air dan cahaya bukanlah faktor penyatu mereka. Karena itu, Imam Ali mengatakan, “[Dia] satu tidak dengan bilangan, senantiasa tidak dengan durasi, mandiri tidak dengan penegak” (Nahj al-Balāghah, pidato 185).

[48]Apa yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap hari Dia dalam kesibukan” (QS. Al-Rahman [55]: 29).

[49] Karena keabsolutan konseptual (ithlāq mafhūmī) bukan seperti keabsolutan konsep-konsep universal yang berlaku pada acuan-acuan objektifnya secara bercampur dan berbaur. Ada atau Curahan Membentang memiliki sifat keabsolutan luas (ithlāq si’ī). Kehadiran absolut Ada tidak lagi menyisakan apa pun selainnya sehingga tidak dapat diasumsikan berampur dan serupa dengannya, atau berbeda dan kontras dengannya. Maka apa saja yang tampak sebagai “selain” (ghayr), pada hakikatnya, adalah kehadiran dan ketampakan absolut Curahan Membentang.

[50] Muhammad Ibn Yaqub Kulayni, Ushūl al-Kāfī, jld. 1, hlm. 85.

[51] Lih. Thabathaba’i, Al-Mīzān, jld. 7, hlm. 454-455.

[52] QS. Al-Nisa’ [4]: 78-79.

[53] Jawadi Amuli, Rahīq Makhtum, bagian V, jld. 1, hlm. 425.

[54] Ibid., hlm. Bagian 5, jld. 2, hlm. 238-247.

Share Page

Close